HASIL perolehan suara Pemilu 2024 perlu menjadi perhatian partai politik (parpol) Islam untuk konsolidasi dan kristalisasi. Hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan posisi parpol Islam menemukan takdirnya sebagai parpol tengahan (medioker). Kondisi faktual ini tidak sebanding dengan posisi umat Islam sebagai kelompok mayoritas.
Dengan persentase mendekati 90% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta lebih, tak pelak umat Islam dapat dikapitalisasi dan dimobilisasi sebagai entitas politik.
Tetapi karena dialektika antara unity (kesatuan) dan keragaman (diversity), maka kendati terdapat kesatuan pada aspek tertentu, muncul keragaman pada aspek-aspek lainnya, seperti terlihat pada orientasi dan perilaku politik umat Islam.
Jika membaca kembali data perolehan suara parpol Islam pada pemilu-pemilu sebelumnya, keterlibatan umat Islam terhadap parpol Islam tergolong lemah karena sebagian besar berafiliasi kepada parpol ‘non-Islam’.
Mereka yang mengambil sikap non-afiliatif terhadap parpol Islam tentu memiliki justifikasi teologis tertentu, di samping tidak terlepas pula dari ketaatan mereka terhadap doktrin agama.
Sebagian umat Islam menunjukkan keberagamaan seperti dalam ungkapan ‘Islam KTP’, yang oleh antropolog Clifford Geetz disebut abangan. Kalangan ini, di samping kurang menunjukkan ketaatan terhadap ketentuan imperatif agama, pilihan politiknya cenderung kepada parpol non-Islam.
Namun banyak juga kalangan yang menunjukkan ketaatan atau kesalehan, nyaman dengan parpol yang mengusung ideologi sekuler, nasionalis, dan modern seperti PDIP, Golkar, NasDem, Gerindra, dan Demokrat.
Mereka memiliki konstruksi teologis yang disebut Fitzroy Morrissey dalam A Short History of Islamic Thought (2022) dengan liberal Islam. Ada pula varian yang disebut the salafis dan Islamist.
Varian ini memiliki ‘mentalitas terkepung’ (a siege mentality) sebagaimana disebut Carool Kersten dalam Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (2015).
Mereka merasa terkepung dan tidak berdaya antara lain oleh kebijakan pemerintah yang dianggap sekuler, dekaden, bahkan kafir. Sebagai reaksi terhadap kondisi ini, mereka memiliki pendirian dan ikhtiar yang kuat untuk mengganti sistem sosial dengan Islam melalui pendirian negara atau khilafah. Tetapi varian ini tidak begitu populer, kendati harus tetap diwaspadai.
Momentum Konsolidasi
Munculnya banyak parpol Islam merupakan perwujudan dari konstruksi bahwa Islam alih-alih sebagai agama yang sekedar mengatur tata cara peribadatan (‘ubudiyah), tetapi memuat pula ketentuan kehidupan Islam di ruang publik (muamalah), termasuk politik.
Mayoritas umat Islam di Indonesia berpandangan longgar terhadap muamalah, seturut dengan dalil: “Hukum asal muamalah, semua boleh dilakukan (mubah), sampai ada dalil yang mengharamkannya.” Karena itu wajar apabila dalam politik, salah satu aspek muamalah, umat Islam sulit disatukan dalam wadah tunggal.
Sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, umat Islam mengelompok dan terbelah dalam berbagai parpol seperti Masyumi dan NU pada Pemilu 1955. Sementara dalam kontestasi pemilu yang lebih mutakhir, Pemilu 2024 misalnya, umat Islam terbelah ke beberapa parpol seperti PKB, PKS, PAN, PPP, Partai Ummat, PBB, dan Partai Gelora Indonesia.
Sayangnya yang memenuhi ketentuan parliamentary threshold hanya PKB, PAN, dan PKS. Sementara PPP, PBB, Partai Ummat dan Partai Gelora Indonesia, hanya sebagai figuran karena tidak lolos parliamentary threshold.
Selepas Pemilu 2024 umat Islam perlu mengonsolidasi diri agar sebagai entitas politik, umat Islam mengerucut ke parpol yang sudah teruji secara elektoral. Islam politik cukup diwadahi oleh empat parpol, yaitu PKB, PPP, PKS, dan PAN.
PKB dan PPP merupakan kristalisasi dan representasi ‘muslim tradisional’ yang sebagian besar berasal dari kalangan Nahdliyin. Sedangkan PKS dan PAN merupakan representasi ‘Islam modern’ yang dida dalamnya antara lain terdapat warga Persyarikatan Muhammadiyah.
Konsolidasi yang nantinya dapat mengkristalkan Islam politik urgen dilakukan agar energi umat Islam tidak dihabiskan hanya untuk mendirikan parpol baru.
Kristalisasi Islam politik hingga mengerucut ke tiga atau empat parpol akan memperkuat akseptabilitas dan elektabilitas. Dengan begitu, parpol Islam bisa terlepas dari perangkap sebagai parpol medioker. Caranya adalah dengan melakukan konsolidasi dan diseminasi ideologi hingga ke kalangan yang lebih luas, tidak hanya ke kalangan yang lebih luas, tidak hanya terbatas di lingkungan kader partai.
Dalam konteks ini, penting diperhatikan keberadaan dan keberhadiran figur yang mampu menjalankan kepemimpinan yang tunduk kepada ideologi partai, agar tidak mudah tertarik dengan sebegitu mudahnya oleh kepentingan politik berjangka pendek. Yang menjadi masalah krusial, jika memerhatikan cara parpol Islam terlibat koalisi dengan parpol yang lain, umat Islam pasti dibuat bingung untuk membedakan antara parpol Islam dengan parpol pada umumnya.
Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si., Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Artikel pernah dimuat dengan judul yang sama dalam Majalah MATAN edisi 214 Bulan Mei 2024