Ketika Preman Mengatur Pasar, dan Hukum Hanya “Menonton”

Ketika Preman Mengatur Pasar, dan Hukum Hanya “Menonton”

MAKLUMATPremanisme kembali menunjukkan taringnya. Pada saat pemerintah tengah berjibaku mengerek pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi masuk, ulah para preman justru menjadi penghambat. Ibarat duri dalam daging, aksi premanisme tidak hanya mengancam keamanan, tetapi juga melumpuhkan roda ekonomi serta mencederai kewibawaan hukum.

Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mencatat, sejak Januari hingga awal Juni 2025, sebanyak 2.028 kasus premanisme telah ditindak aparat kepolisian di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk kasus-kasus yang tidak tercatat atau luput dari penindakan.

Terbaru, di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, enam juru parkir liar dan satu anggota organisasi masyarakat diamankan petugas karena memungut tarif parkir hingga Rp40.000 dan mengintimidasi petugas keamanan pasar. “Operasi ini menyasar praktik pungli berkedok koperasi dan parkir liar yang meresahkan,” ujar Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Nicolas Ary Lilipaly dikutip dari Kompas.id, Kamis (5/6).

Payung Hukum Ada, Tapi Penegakan Lemah

Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H., menegaskan bahwa premanisme bukan karena lemahnya regulasi. “Hukumnya ada, ancaman pidananya juga berat. Tapi persoalannya terletak pada penegak hukum,” kata Iksan seperti dilansir laman UMS.

Ia mengibaratkan fenomena premanisme seperti gunung es. “Yang tertindak itu hanya pucuknya. Yang tidak kelihatan di bawah permukaan jauh lebih banyak,” tegasnya.

Baca Juga  Faris Abidin Resmi Dilantik, Pikul Tanggung Jawab Besar Perjuangkan Kesejahteraan Warga Surabaya

Secara hukum, istilah premanisme memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam KUHP. Namun, aksi-aksi seperti pemerasan, pengancaman, penganiayaan, penguasaan lahan ilegal, hingga pencurian dengan kekerasan bisa dijerat pasal-pasal pidana yang sudah ada.

“Pemalakan di pasar dan terminal itu bisa masuk pemerasan. Kalau sampai ada intimidasi, bisa dikenakan pasal pengancaman. Semua sudah ada pasalnya, tinggal keberanian menindak,” ujarnya.

Menyasar Kalangan Rentan

Premanisme paling banyak menyasar kalangan ekonomi lemah, seperti pelaku UMKM, sopir angkutan umum, hingga pekerja harian. Mereka kerap dipalak dengan dalih “uang keamanan”. Jika menolak membayar, ancaman kekerasan hingga sabotase pun membayangi.

“Ini sangat mengganggu iklim usaha. Biaya siluman akibat premanisme membuat ongkos produksi naik, dan ujung-ujungnya menurunkan daya saing,” tutur Iksan.

Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar pun mengamini. Dalam laporan Tempo, ia menyebut banyak investor hengkang karena dipaksa melibatkan organisasi masyarakat dalam kegiatan operasional. “Kami rugi triliunan. Premanisme jadi penghalang utama investasi,” katanya.

Polisi Bisa Bergerak Tanpa Laporan

Menurut Iksan, penindakan terhadap preman seharusnya tak perlu menunggu laporan masyarakat. “Premanisme itu delik biasa, bukan delik aduan. Polisi bisa langsung bertindak,” tegasnya.

Namun faktanya, aparat sering berdalih tidak bisa bertindak karena tidak ada laporan. Di sinilah letak persoalan besar: kepercayaan publik pada penegak hukum makin merosot. “Kalau polisi melihat pemerasan dan diam saja, publik jadi curiga. Jangan-jangan ada bekingan,” ujarnya.

Baca Juga  Partai Amanat Nasional Gelar Bazar Tebus Murah dan Mudik Gratis di Tiga Kabupaten

Ia menyoroti lima faktor penentu efektifnya hukum: aturan, penegak hukum, sarana-prasarana, masyarakat, dan budaya hukum. “Aturannya jelas. Masalahnya ada di aparat dan budaya hukum,” kata Iksan.

Jalan Keluar: Satgas dan Pembinaan Sosial

Solusi untuk memberantas premanisme, kata Iksan, tidak bisa semata represif. Harus ada pendekatan preventif dan preemptif. Ia mengusulkan pembentukan Satgas Anti-Premanisme lintas sektor: polisi, pemda, Kemenaker, Kemensos, LSM, hingga organisasi keagamaan.

“Revitalisasi BLK, pemberdayaan UMKM, dan pembinaan moral dari tokoh agama harus digencarkan. Jangan cuma tangkap preman, cegah orang jadi preman,” katanya.

Ia menilai, tingginya angka pengangguran jadi lahan subur bagi premanisme. “Kalau ekonomi lesu dan pengangguran tinggi, preman pasti tumbuh. Itu logikanya,” ucapnya.

Data BPS dalam Statistik Kriminal 2024 menunjukkan lonjakan kejahatan dari 372.965 kasus (2022) menjadi 584.991 kasus (2023). Banyak di antaranya tergolong premanisme.

Masyarakat Jangan Diam

Iksan juga mengingatkan pentingnya peran masyarakat. Banyak korban preman memilih diam karena takut atau merasa percuma. “Kalau semua bungkam, aparat bisa berdalih tidak punya dasar bertindak,” ujarnya.

Padahal, dalam sistem hukum, kesaksian warga sangat penting. “Solidaritas sosial harus dibangun. Jangan biarkan ruang publik jadi milik para preman,” kata Iksan.

Menutup wawancara, Iksan menegaskan bahwa premanisme bisa diberantas hingga akar, asalkan negara serius. “Kalau aparat pasif, ekonomi jeblok, dan masyarakat takut bersuara, ya premanisme akan terus berkeliaran,” tandasnya.

Baca Juga  KPU Jatim Terima Pendaftaran Bacaleg dari 18 Partai dan 15 Bacalon DPD

 

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *