GEMURUH pesta demokrasi telah usai, hasil sudah kita dapatkan bersama, ada yang menang dan ada yang kalah, itu semua hanya dalam perhitungan angka suara. Dalam realitas hidup berbangsa dan bernegara semua kandidat yang turut berpartisipasi dalam kontestasi Pemilu 2024, merupakan wujud rasa cinta terhadap tanah air. Para kandidat legislatif maupun eksekutif merupakan anak terbaik yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia saat ini.
Tantangan ke depan bukan semakin mudah tapi beban untuk bertumbuh menjadi negara maju akan semakin berat, namun ketika semua elemen dan anak bangsa bergotong royong saya yakin bangs aini akan semakin dewasa dalam bertumbuh. “Becoming Indonesia”, istilah ini patut kita hadirkan dalam setiap benak cita-cita anak bangsa. Indonesia yang bertumbuh menjadi negara yang bisa mengamalkan semua nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang hari ini masih jauh dari kesempurnaan.
Dengan rasa cinta tanah air, anak-anak bangsa akan tumbuh bersama. Bulan Ramadan telah mengajarkan banyak hal, tidak hanya terhadap umat Islam di Indonesia, tapi juga umat non muslim juga merasakan keberkahan Ramadan, dari mulai viralnya pemuda-pemudi non muslim yang berburu takjil hingga tayangan ‘log in’ di channel YouTube Dedy Corbuzier yang mempunyai jutaan viewers. Ramadan hadir meneduhkan dan terciptanya integrasi nilai antar anak bangsa tanpa membedakan ras, suku, dan agama. Momen di mana masyarakat yang dikenal heterogeny menjadi kesatuan bangsa yang majemuk.
Kita juga harus banyak belajar dari persahabatan Soekarno dan Buya Hamka, keduanya kader bangsa yang lahir dari rahim Muhammadiyah.
Tanggal 27 Januari 1964 Buya Hamka dituduh berencana menggulingkan pemerintahan Soekarno, bahkan berencana membunuh Soekarno, sehingga ia diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi saat Bulan Ramadan. Ketika ia baru pulang memberikan pengajian mingguan di Masjid Al-Azhar. Buya Hamka yang menjadi kader Partai Masyumi dianggap terlalu kritis terhadap pemerintahan Soekarno. Selama dua tahun empat bulan di penjara tanpa pengadilan yang semestinya. Buku-bukunya dilarang terbit dan diedarkan. Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, barulah Buya Hamka dibebaskan pada Mei 1966.
Di akhir hayat Soekarno dia yang telah memaafkan Buya Hamka berwasiat kepada keluarganya. Tepat tanggal 16 Juni 1970 Mayjen Suryo ajudan Presiden Soeharto mengirimkan pesan dari keluarga Soekarno ke Buya Hamka agar menjadi imam shalat jenazah Soekarno. Saat itu Buya Hamka tidak mengetahui pasti bahwa Soekarno telah wafat. Buya Hamka kemudian bertanya kepada Suryo, “Jadi beliau sudah wafat?”
“Iya, Buya. Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso,” jawab Suryo.
Tanpa berpikir panjang, Buya Hamka langsung bergegas menuju Wisma Yaso. Di sana, telah banyak pelayat berdatangan, antara lain Presiden Soeharto dan beberapa pejabat tinggi.
Buya Hamka dengan mantap menjadi imam shalat jenazah Soekarno. Dengan Ikhlas, ia menunaikan pesan terakhir Soekarno, mantan presiden yang telah memenjarakannya. Buya Hamka tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakitinya, “Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah Swt kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu,” kata Buya.
Dari kisah ini kita sesama anak bangsa yang ramai ikut euforia pesta demokrasi di Hari Raya Idul Fitri ini sudah sepatutnya saling memberikan maaf.
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan Islam akan terus mengajak setiap insan untuk saling menundukkan diri dan bersimpuh saling memberikan maaf, gemuruh pemilu telah usai, hari nan fitri telah hadir untuk kita saling berucap maaff. Setiap pemilu aka nada gesekan antar anak bangsa yang itu bukan menjadi salah satu bentuk disintegrasi apabila kita mampu menunjukkan kenetralan maupun keberpihakan secara sadar bahwa kita adalah anak bangsa yang mempunyai cita-cita yang sama untuk mewudujkan Indonesia yang adil dan beradab sesuai harapan para pendiri negara ini.(*)
Dr. dr. Sukadiono, MM, Penulis adalah Ketua PWM Jawa Timur; Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya
Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di Majalah MATAN edisi 213: April 2024