29.3 C
Malang
Jumat, November 22, 2024
OpiniPelajaran dari Politikus Piawai Muawiyah

Pelajaran dari Politikus Piawai Muawiyah

Hajriyanto Y. Thohari.

SETIAP memasuki Kota Damaskus (Arab: Dimasq), ibu kota Suriah atau Syria, yang jarak tempuhnya tidak sampai dua jam dari rumah saya di Beirut, pikiran saya selalu saja segera melayang ke khalifah Muawiyah bin Abi Suyfan (597-680). Memang di kota besar yang sangat eksotik dan arkaik itu ada banyak peninggalan sejarah yang menarik dilihat: ada Jami’ Umawi dengan Menara Putih-nya yang antik yang dipercaya oleh banyak orang bahwa Nabi Isa AS (Yesus Kristus) akan muncul lagi ke dunia dari Menara itu untuk yang kedua kalinya nanti menjelang kiamat.

Di dalam masjid itu juga ada makam Nabi Yahya AS (Islam) atau Yohanes Sang Pembaptis (menurut Kristen). Di Kota Damaskus juga ada makam dan patung Salahuddin Al-Ayyubi (1137-1193) yang dengan sangat gagahnya sedang duduk bertengger di atas pelana kuda perang yang berdiri di jalan samping pasar tua yang berada di samping masjid Jami’ Umawi di Damaskus itu. Pasar tua itu sendiri Namanya Midhaq Pasha Souq atau Al-Taweel Souq yang konon dibangun pada zaman kekaisaran Romawi (sekitar tahun 64 SM). Di Damaskus masih banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah yang lainnya yang harus kita lihat.

Aura Muawiyah

Tetapi meski demikian tetap saja pikiran saya tertuju pada Muawiyah. Pasalnya, jejak-jejak Muawiyah di Damaskus bukan hanya sangat kelihatan, melainkan juga auranya sangat terasa. Dia dilantik sebagai Gubernur Syam oleh Khalifah Umar bin Khattab (tahun 640) di Yerussalem (Al-Quds, Bait I-Maqdis), naik  tahta sebagai khalifah (tahun 661 M), dan kemudian memindahkan ibukota kekhalifahan dari Kota Kufah dan Madinah al-Munawwarah ke Damaskus. Walhasil Muawiyah lahir di Mekkah al-Mukarromah, berkuasa di Damaskus (640-680), meninggal di Damaskus (680), dan dimakamkan di Bab al-Saghir, di Damaskus pula. Tak heran jika di Kawasan Syam (sekarang terpecah menjadi Suariah, Yordania, Palestina, dan Lebanon), nama Muawiyah bin Abi Sufyan sangatlah berpengaruh. Muawiyah adalah Bapak Negeri Syam.

Di Lebanon aura Muawiyah juga sangat terasa. Maka sebagai orang yang tinggal di Beirut saya seperti napak tilas saja jejak-jejak Muawiyah. Banyak jejak-jejak sejarahnya di Baalbek, Anjar, Tyre, Tripoli, dan Sidon, kesemuanya adalah kota-kota yang sekarang menjadi bagian dari Lebanon. Kota-kota itu bukan hanya pernah disinggahi Muawiyah, melainkan juga pernah dijadikan basis militernya, termasuk pangkalan Angkatan Lautnya yang sangat Tangguh di Pelabuhan Beirut yang dari situ Muawiyah melebarkan sayap kekuasaannya ke Eropa, Asia Tengah, dan Afrika Utara. Dari Lebanon Muawiyah bergerak menaklukkan wilayah-wilayah Byzantium seperti Siprus, Sisilia, Antiokia, Asia Tengah (Transoxania), dan lain-lainnya. Dan juga provinsi-provinsi di bawah kekaisaran Persia yang masih bertahan.

Dari Beirut pula Muawiyah menyerbu Konstantinopel, ibu kota Byzantium yang megah luar biasa itu. Sayang, Angkatan Laut dan pasukan infantri khalifak Muawiyah tidak berhasil menaklukkan Konstantinopel. Kegagalan Muawiyah baru terbayar beberapa abad kemudian pada tahun 1453 dengan penaklukan Konstantinopel yang dipimpin oleh Sultan Mehmed II The Conqueror pada masa kekhalifahan Ottoman yang terkenal itu.

Perkembangan Arab Syam (Arab Levant) sama sekali tidak bisa dipisahkan dari Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang politikus paling licin dan piawai dalam sepanjang sejarah Arab Islam ini selalu menang dalam pergulatan politiknya, baik ketika melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib, Khalifah Hasan bin Ali, maupun golongan Khawarij. Muawiyah selalu bertahan dan unggul dalam setiap pergumulan politik sehingga berhasil tetap berkuasa dengan mulus dan stabil sampai wafatnya (6 Mei 680). Dia menjabat Gubernur Syam selama 21 (dua puluh satu) tahun dan Khalifah Dinasti Umayyah selama 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian jika dijumlah total mencapai lebih 40 (empat puluh) tahun. Apalagi jika dihitung jabatannya sebagai sekretaris Nabi Muhammad SAW, Wakil Panglima, dan Panglima Perang dalam peperangan Fathu Syam!

Politisi Cerdik Nan Taktis

Melihat fenomena kecemerlangan Muawiyah, Philip K. Hitti dalam bukunya History of the Arab, melihat bahwa dalam diri Muawiyah bin Abi Sufyan mengalir bakat seni berpolitik yang cerdik dan licin. Kemampuan berpolitiknya beberapa tingkat lebih tinggi ketimbang khalifah-khalifah lainnya yang mana pun yang rata-rata salih, lurus, dan jujur. Menurut beberapa penulis biografinya, nilai utama yang dimiliki Muawiyah adalah apa yang disebut dengan al-hilm, yakni kemampuan yang luar biasa untuk menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekuatan (great power) hanya ketika dipandang perlu saja. Dan sebagai gantinya, terutama terhadap lawan internal, Muawiyah lebih banyak menggunakan al-hilm atau jalan damai (soft power).

Kelembutan sikapnya yang tak mudah marah dan kemampuan pengendalian dirinya yang sangat tinggi, membuatnya selalu dapat menguasai setiap situasi dan keadaan secara sangat baik. Berikut ini adalah kata-kata yang menggambar kepolitikan Muawiyah yang sangat terkenal: “Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup menggunakan cambuk. Dan aku tidak akan memakai cambuk jika cukup dengan lisan. Seandainya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabat-sahabatku maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Pada saat mereka menariknya aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya aku akan menariknya.”

Demikian juga halnya ketika bersaing dengan Khalifah Hasan bin Ali, politik al-hilm itu oleh Muawiyah digunakan lagi dengan cerdik dan piawai. Alih-alih menantang perang atau mendahulukan kekerasan, Muawiyah malah mengirim surat ajakan berdamai kepada Hasan bin Ali yang isinya sebagai berikut: “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar dengan setia kepadamu. Sekarang, mintalah apa yang engkau mau…?” Dalam surat itu konon kabarnya dilampirkan kertas kosong yang dibubuhi tanda tangan Muawiyah untuk diisi oleh al-Hasan sesuai apa yang Hasan kehendaki asal mau melepaskan klaimnya sebagai khalifah. (Hitti, 2010:245)

Konon seusai membaca surat itu Khalifah Hasan bin Ali melepaskan klaim kekhalifahan dan menyerahkannya sepenuhnya kepada Muawiyah demi kerukunan dan persatuan umat Islam masa itu. Penyerahan Khalifah Hasan bin Ali ini menghasilkan periode persatuan umat Islam yang dalam sejarah dikenal dengan ‘Amul Jama’ah (tahun-tahun persatuan Islam). Pasalnya, dengan perdamaian itu dualism kekhalifahan (yang satu berkuasa di Kuffah dan yang lainnya di Damaskus) dengan dua matahari kembar (Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, dan kemudian Khalifah Hasan bin Ali dan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan) selesai dan berakhir. Muawiyah bin Abi Sufyan akhirnya secara de facto menjadi satu-satunya khalifah yang sepenuhnya berkuasa sesuai dengan ambisi politiknya sebagai seorang keturunan keluarga aristocrat Quraisy (lihat Khalil Abdu ‘l-Karim, Quraisy: Min ‘l-Qabilah ila ‘l-Daulah l-Markaziyyah, Sina li-Nasy, Qabirah, 1993).

Adalah merupakan fakta sejarah bahwa Muawiyah berhasil mengungguli lawan-lawan politiknya dengan gemilang. Tetapi merupakan fakta sejarah pula bahwa nama Muawiyah kurang harum dalam sejarah Islam. Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, dan Husein bin Ali, memang kalah secara politik. Dan itu juga adalah fakta sejarah. Tetapi menariknya nama Ali justru lebih harus dan melambung dalam sejarah. Sejarah manusia besar memang unik dan menarik: kemenangan tidak selalu berarti keharuman, kekalahan tidak selalu identik dengan keasoran. Wallahu a’lam. (*)

Hajriyanto Y. Thohari, Penulis adalah Anggota PP Muhammadiyah 2015-2022, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI di Beirut

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah MATAN Edisi 203 Juni 2023

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer