MAKLUMAT — Jika Anda pernah belajar membaca Alquran menggunakan buku Iqro’, Anda telah menyentuh karya besar seorang lelaki sederhana dari Selokraman, Kotagede, Yogyakarta: Kiai Haji As’ad Humam. Pria dengan tubuh kurus, kacamata tebal, dan tongkat di tangan itu bukan sekadar guru, ia adalah pelita di tengah gelapnya kebutaan huruf Alquran.
Siapakah As’ad Humam? Gambar wajahnya yang terpampang pada sampul buku Iqro’ mengundang tanya. Lelaki kelahiran 1933 itu adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Nama belakangnya, ‘Humam,’ berasal dari ayahnya, Humam Siradj, seorang pedagang sukses di pasar Bringharjo.
Seperti dilansir laman Muhammadiyah, As’ad tumbuh di lingkungan Muhammadiyah, yang sejak dini menanamkan kecintaan pada ilmu. Pendidikan formalnya mencatat SD Muhammadiyah Kleco, SMP Negeri Ngawi, hingga SMA Mu’allimin Muhammadiyah.
Namun, langkah pendidikannya terhenti akibat kecelakaan tragis saat ia memanjat pohon pada 1963. Pengapuran tulang belakang membekas selamanya — ia berjalan dengan tongkat, salat dengan duduk, bahkan untuk menoleh, tubuhnya harus bergerak utuh.
Meski tubuhnya terbatas, semangatnya melampaui batas. Ketidakmampuan fisiknya tak menjadi penghalang. Dalam kesehariannya, ia terus berpikir, mencari celah bagaimana menyederhanakan pembelajaran membaca Alquran yang kala itu dirasa kaku dan melelahkan.
Metode di Bawah Pohon Jambu
Kotagede, di bawah rindangnya pohon jambu di halaman rumahnya, menjadi saksi bagaimana lembar demi lembar coretan tangan As’ad Humam melahirkan metode Iqro’. Anak-anaknya, dengan canda dan tawa, mengumpulkan kertas-kertas yang beterbangan diterpa angin. Tahun demi tahun, ia menyusun sistem yang kelak mengubah wajah pendidikan Alquran di Indonesia.
Awalnya, As’ad adalah pengajar metode Qiroati di Kotagede. Namun, kritiknya terhadap metode tersebut tak diterima baik oleh pendirinya, Kiai Dahlan Salim Zarkasyi. Penolakan itu menjadi api yang memantik tekadnya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Ia memutuskan berhenti mengajarkan Qiroati dan memulai langkah revolusioner: menciptakan metode yang lebih praktis, cepat, dan fleksibel.
Hasilnya? Buku kecil berjudul “Iqro” yang terdiri atas enam jilid. Metode ini mempermudah anak-anak untuk langsung membaca tanpa harus mengeja huruf per huruf. Sistem suku kata seperti “ba-ta,” “ka-ta,” hingga “ba-ja” menjadi formula sederhana yang menggugah minat belajar anak-anak. Warna-warni sampul buku Iqro’ menambah daya tariknya. Tak hanya itu, metode ini memungkinkan pengajaran dilakukan secara privat maupun klasikal, sesuai kebutuhan.
Pada 1986, As’ad bersama Jazir Asp dan Tim Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Mushola (AMM) Yogyakarta mendirikan Taman Kanak-Kanak Alquran (TKA) AMM. Selanjutnya, mereka mengembangkan Taman Pendidikan Alquran (TPA) hingga kursus Tartilil Quran. Momentum ini menjadikan Iqro’ sebagai gerakan pendidikan Alquran yang masif.
Tak lama, Iqro’ mendapatkan pengakuan dari Menteri Agama pada 1988 dan mulai didistribusikan secara nasional pada 1992. Seiring waktu, metode ini menyebar ke Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan Eropa dan Amerika. Ribuan TPA dan TPQ berdiri, menginspirasi generasi demi generasi untuk melek huruf Alquran.
Jejak Amal Jariyah
Meski hidup dalam keterbatasan fisik, As’ad Humam telah meninggalkan warisan yang abadi. Metode Iqro’ tidak hanya menjadi alat baca, tetapi juga simbol perjuangan. Ketika ia wafat pada 2 Februari 1996, Menteri Agama Tarmizi Taher berkata, “Beliau adalah pahlawan penyelamat Quran.”
Hari ini, metode Iqro’ tetap hidup, menyinari jalan bagi siapa saja yang ingin mendekat kepada Alquran. Di balik setiap huruf yang terbaca, ada doa yang mengalir untuk lelaki bersahaja yang mengabdikan hidupnya demi cahaya ilmu. Tongkat yang menopangnya di masa hidup kini menjadi simbol perjuangan tanpa henti. Di tangan K.H. As’ad Humam, keterbatasan bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan besar.
“Iqro’ bismirabbikalladzi khalaq…” Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.***