22.7 C
Malang
Sabtu, November 23, 2024
KilasPemilu 2024 Masih Sekadar Kontestasi, Belum Menyentuh Politik Subtansi

Pemilu 2024 Masih Sekadar Kontestasi, Belum Menyentuh Politik Subtansi

Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik Baikuni Alshafa.

PEMILU 2024 semakin dekat dan mesin-mesin politik pun mulai bergerilya melakukan konsolidasi dan sebagainya guna melakukan suksesi. Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik Baikuni Alshafa menyoroti fenomena tahun politik ini.

Menurut dia, perkembangan peta politik menuju Pemilu 2024 sedikit banyak sudah bisa terlihat dari kabar-kabar yang bertebaran di media. Partai politik (parpol) menggalang kekuatan, melalui konsolidasi-konsolidasi dan safari politik yang dilakukan para elite partai.

”Yang terlihat saat ini kan ada tiga poros itu (Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo, Red), tapi politik itu dinamis dan fleksibel, tidak bisa benar-benar dipastikan secara mutlak, sebelum tanggal yang telah ditetapkan KPU,” kata alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP UMM tersebut kepada Maklumat.id, Senin (12/6/2023).

Menurut dia, dalam momentum Pemilu 2024 bukan hanya pada persoalan kontestasi perebutan kekuasaannya, melainkan juga pada substansi politik yang harus lebih diperhatikan secara serius oleh berbagai kalangan, termasuk para aktivis dan terlebih kader-kader IMM. ”Setidaknya terkait apa yang kita sering sebut dengan politik nilai atau politik substansi itu, ada beberapa catatan yang harus menjadi perhatian serius, seperti kasus korupsi yang masih menjadi momok dan semakin menjadi-jadi,” terang mantan Ketua IMM Renaissance FISIP UMM tersebut.

Dia menyebutkan, adanya gap atau jarak yang sangat lebar terkait kesejahteraan sosial-ekonomi. Dia mengklaim berdasarkan data yang dihimpun dan dianalisis, sekitar 30-40 persen dari jumlah penduduk Indonesia berada dalam jurang kemiskinan, yang itu bisa diukur salah satunya melalui pendapatan perkapita, atau lebih dalam lagi melalui pendapatan perharinya.

”Data dari World Bank pendapatan perhari rata-rata hanya berkisar antara Rp 26.500 sampai Rp 30.000. Sedangkan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan itu tidak memberi ruang produktif, misalnya di industri ekstraktif yang katanya cukup menyerap tenaga kerja, tapi kenyataannya upah buruh ketika dikonversi dalam KHL (Kebutuhan Hidup Layak), maka itu tidak berbanding lurus dengan UMP/UMR yang mereka dapatkan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, pria yang disapa Alsha itu juga menyorot perihal permasalahan lingkungan hidup dan konflik agraria. Dia memaparkan, berdasarkan data konsorsium pembaruan agraria terdapat kurang lebih sekitar 400 ribu konflik agraria di Indonesia, yang itu pasti akan berdampak pada persoalan lingkungan hidup.

”Deforestasi besar-besaran yang kemudian hasilnya juga hanya dinikmati oleh kurang lebih mungkin 25 orang saja. Mulai perkebunan sawit, tambang batubara, tambang emas, dan sebagainya,” ujarnya. (*)

Reporter: Ubay

Editor: Aan Hariyanto

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer