PEMILIHAN Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 menjadi hajat besar bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya untuk memilih dan menentukan pemimpin baru, tapi secara substansial adalah sebagai ajang menentukan perjalanan Indonesia lima tahun ke depan.
Sebagai hajatan akbar, banyak hal yang tentu menjadi sorotan dan harus diperhatikan betul. Termasuk persoalan-persoalan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang juga harus menjadi perhatian serius, baik oleh para penyelenggara, para kandidat beserta timnya, maupun para pemilih.
Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah Hening Purwati mengatakan, seharusnya Pemilu dan Pilkada itu menjadi ajang bagi seluruh warga negara untuk membahas, bahkan berdebat terkait substansi atau hal-hal yang sangat penting bagi kemajuan Indonesia.
”Tapi yang terjadi dari pemilu ke pemilu, pemilihan itu sering tidak didasari pada nilai atau substansi yang menguat pada nilai-nilai masa depan, tetapi hanya berupa pertarungan para kandidat yang kemudian turun ke basis massa dan justru membuat banyak terjadi perpecahan. Sementara hal-hal yang substansial yang seharusnya menjadi pembahasan atau bahan perenungan dan perdebatan itu justru tidak terbahas dengan baik,” katanya kepada Maklumat.id.
Menurut Hening, dengan menumpuknya persoalan-persoalan lingkungan, maka adanya pemilu yang ramah lingkungan adalah sebuah kewajiban dan menjadi sebuah keniscayaan yang harus disampaikan agar tercipta pemilu yang ramah lingkungan.
Dia menyebut, Indonesia yang dikenal sebagai negeri zamrud khatulistiwa, negeri yang kaya raya dengan melimpahnya berbagai macam sumber daya alam (SDA), namun justru belum mampu mengentaskan kesenjangan masyarakat, yang mana itu juga imbas dari penguasaan SDA yang tidak merata dan hanya dimonopoli oleh beberapa pihak.
“Maka itu, bukan hanya pemilu ramah lingkungan, tetapi juga adalah kontestasi di mana kandidat yang punya perspektif tentang lingkungan, pemilih yang juga punya cara pandang tentang lingkungan, dan menghasilkan kebijakan atau poin-poin penting dimana lingkungan menjadi salah satu mainstream yang kuat di dalam membangun masa depan Indonesia,” ungkapnya.
Perempuan yang juga merupakan Fellow GreenFaith International itu menerangkan, untuk mewujudkan hal itu, maka hal yang harus dilakukan adalah memberikan informasi sebanayk mungkin kepada para pemilih, yang mana para Pemilu dan Pilkada serentak 2024 mendatang didominasi oleh kalangan muda, yakni generasi milenial dan generasi Z (Gen-Z).
“Berarti generasi inilah yang harus kita influence untuk mendapatkan pengetahuan tentang lingkungan, jadi mereka harus kita bawa untuk mempunyai pemahaman tentang lingkungan,” jelasnya.
Lalu, lanjut Hening, bahwa para voters atau pemilih juga harus mampu menginfluence para kandidat agar mereka mempunyai rencana program dan kebijakan yang berwawasan lingkungan.
Menurut dia, untuk mendorong terciptanya pemilu yang ramah dan berwawasan lingkungan itu, maka pertama, harus terus menggalakkan kampanye terkait kepedulian lingkungan seluas mungkin. “Lalu kedua, jangan memilih kandidat yang tidak punya kepedulian terhadap lingkungan. Ketiga, harus menyampaikan rekomendasi-rekomendasi atau poin-poin penting tentang lingkungan kepada para pemilih dan para kandidat yang akan dipilih. Dan keempat, harus mengingat janji-janji politik para kandidat untuk ditagih di kemudian hari ketika terpilih untuk dipertanggungjawabkan,” terangnya.
Lebih lanjut, Hening menyampaikan perihal mengapa hal-hal tersebut menjadi penting untuk digalakkan. Sebab, sejauh ini, menurutnya sudah terdapat beberapa regulasi dan kebijakan publik berkaitan dengan lingkungan hidup, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah. Namun, dalam tataran implementasi masih tidak terukur ketercapaiannya.
“Pertama harus dicek dan sangat hati-hati, apakah sebenarnya munculnya regulasi itu ada faktor titipan dari pihak tertentu yang sebenarnya justru berimplikasi merusak lingkungan nantinya? Lalu kedua, mesti dilihat bagaimana implementasinya, apakah benar itu bisa diimplementasikan dengan baik atau justru itu menjadi wilayah perdebatan dimana antara legislator dengan pemerintah tidak bisa bertemu terhadap kebijakan itu,” kata Advisor Ecobhinneka Muhammadiyah itu.
Hening menambahkan, banyak terdapat kebijakan yang harus dicek dan dikaji lebih matang, termasuk dari segi implementasinya, seperti kebijakan terkait transisi energi, moratorium sawit, moratorium loging, hingga terkait limbah, dan sebagainya. “Dari sisi implementasi dan proses sosialisasinya belum terukur dengan baik. Lalu banyak regulasi yang masih menjadi perdebatan antara legislator dengan pemerintah, mereka beberapa kali belum klop, sehingga menimbulkan perdebatan dari sisi kebijakan publik,” tandasnya.
Berdasarkan realitas dan kondisi yang demikian, Hening mengaku tidak sepenuhnya optimis bahwa para kandidat yang terpilih nantinya akan memiliki pendekatan dan prioritas terhadap persoalan lingkungan. Namun, dia mengaku masih memiliki harapan yang cukup besar, terlebih jika para pegiat lingkungan mampu mendorong kelompok muda untuk lebih kuat dan lebih kritis terhadap persoalan lingkungan.
“Maka itu bisa menghasilkan suatu desakan kepada mereka (kandidat) yang dipilih, sehingga apabila kedua belah pihak antara pemilih dan yang dipilih itu sama-sama mempunyai komitmen kuat terhadap persoalan lingkungan, saya masih punya harapan yg baik bahwa akan terjadi hal-hal baik,” harapnya.
Seandainya saja, imbuh Hening, setidaknya jika 25 persen saja dari anggota parlemen yang terpilih nanti itu punya wawasan dan kepedulian terhadap lingkungan, menurut saya itu sudah lumayan bagus dan kita akan cukup punya kekuatan dan bisa menghijaukan DPR dan MPR itu. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto