24.8 C
Malang
Minggu, Oktober 6, 2024
OpiniPolitik Dinasti dan Etika Berkontestasi

Politik Dinasti dan Etika Berkontestasi

Prof Biyanto

MAKLUMAT – Pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak akan diselenggarakan pada 27 November 2024. Secara nasional, pilkada serentak tahun ini berlangsung di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Di Jawa Timur, pilkada serentak diselenggarakan di 38 kabupaten/kota untuk memilih bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota serta pemilihan gubernur-wakil gubernur Provinsi Jawa Timur.

Salah satu persoalan yang patut menjadi perhatian dalam pilkada serentak tahun ini adalah fenomena politik dinasti. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah figur yang bersiap running dalam pilkada serentak. Sebagian di antara figur tersebut masih memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik dan pejabat eksekutif tingkat pusat atau daerah.

Budaya penguasa untuk menempatkan orang-orang yang masih berhubungan darah, keturunan, dan kekerabatan sebagai calon anggota legislatif atau kepala daerah secara populer disebut politik dinasti.

Politik dinasti juga dipahami sebagai kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Dalam tradisi politik era pramodern, politik dinasti sejatinya lebih indentik dengan kerajaan. Para raja yang berkuasa akan mewariskan kekuasaannya secara turun-temurun.

Hal itu dilakukan agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Menurut Ari Dwipayana (2023), budaya politik dinasti yang kini berkembang merupakan gejala neopatrimonialistik. Benih politik dinasti sudah lama dan berakar kuat secara tradisional sejak era kolonial.

Dalam budaya patrimonialistik, sistem politik dibangun dengan mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis. Politik dinasti disebut gejala neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tetapi dilakukan dengan strategi baru.

Jika dulu pewarisan kekuasaan ditunjuk secara langsung oleh raja, sekarang melalui jalur politik prosedural. Persoalan kemampuan, prestasi, integritas, dan rekam jejak, yang umumnya digunakan dalam sistem meritokrasi, pun diabaikan.

Orang-orang yang masih berhubungan keluarga dengan elite penguasa memperoleh kemudahan untuk masuk ke partai-partai politik. Tanpa berpeluh keringat, mereka tiba-tiba menjadi kader inti, bahkan pucuk pimpinan partai politik.

Mereka difasilitasi sedemikian rupa sehingga mampu memenangkan kontestasi politik dalam sistem demokrasi yang prosedural. Sejujurnya, praktik politik itu merupakan bagian dari budaya patrimonialistik yang terselubung di era demokrasi.

Modus politik dinasti juga dilakukan penguasa dengan menempatkan orang-orang kepercayaan untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Mereka umumnya orang yang sangat berjasa dan berkeringat selama proses pencalonan hingga pemenangan sang penguasa.

Mereka bisa jadi karena pernah menjadi tim sukses, penyandang dana, pendulang suara (vote getter), atau relawan politik. Yang juga sangat berjasa tentu adalah elite partai. Mereka yang menyediakan kendaraan politik bagi calon penguasa.

Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri tercinta. Hal itu karena politik dinasti cenderung mengabaikan kompetensi, integritas, dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin di daerahnya. Ironisnya, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi.

Dalam alam demokrasi prosedural, masyarakat seakan diberikan peran. Tetapi, jika diamati, sejatinya masyarakat tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan. Calon-calon yang dimajukan dalam setiap pesta demokrasi, baik dalam skala nasional maupun lokal, sudah dipersiapkan sedemikian rupa.

Bahkan, pemenang kontestasi selalu diusahakan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite penguasa. Penting diingat, pemilihan kepemimpinan yang diwarnai dengan praktik politik dinasti pada saatnya akan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tamsil Kisah Adam

Perumpamaan (tamsil) mengenai betapa bahaya politik dinasti diilustrasikan melalui kisah terusirnya Adam dan Hawa dari surga. Pertanyaannya, mengapa keduanya terusir dari surga yang penuh kenikmatan? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Adam dan Hawa tergoda bujuk rayu setan. Sejak lama setan memendam kedengkian kepada Adam.

Setan pun berusaha mencari jalan untuk menggelincirkan Adam. Setan lantas menemukan cara dengan merayu agar Adam dan Hawa makan buah dari pohon keabadian (syajarah al-khuldi). Menurut bisikan jahat setan, jika mau makan buah khuldi, Adam dan Hawa akan merasakan kenikmatan surga dalam waktu yang sangat lama. Keduanya memperoleh kekuasaan yang tidak pernah binasa.

Singkat kisah, Adam dan Hawa akhirnya benar-benar tergoda bujuk rayu setan. Keduanya lantas memakan buah dari pohon keabadian. Akibatnya, keduanya harus menerima kenyataan terusir dari surga (Q.S. Thaha: 120-121). Pertanyaannya, pelajaran apa yang dapat dipetik dari perumpamaan (tamsil) kisah pengusiran Adam dan Hawa dari surga?

Setidaknya ada dua pelajaran penting yang dapat diambil. Pertama, umumnya manusia sangat mudah tergoda kekuasaan yang dipersepsi dapat membawa kenikmatan hidup di dunia secara instan. Orang yang memiliki syahwat politik tinggi pasti akan selalu berpikir untuk menikmati kekuasaan di dunia dalam waktu yang sangat lama.

Virus hidup serbainstan itu juga menjalar ke anak-anak muda. Banyak anak muda yang enggan menjalani kehidupan dengan berpeluh keringat. Mereka ingin terkenal dan hidup bergelimang kekayaan dengan cepat. Caranya adalah masuk dunia politik atau dekat dengan kekuasaan.

Kedua, selalu ada kecenderungan penguasa mempertahankan kekuasaannya. Sebab, untuk memperoleh kekuasaan, seseorang harus berjuang hingga titik keringat terakhir. Jika karena perundang-undangan kekuasaan harus berpindah tangan, selalu diusahakan agar kekuasaan jatuh kepada istri, anak, menantu, kerabat, dan teman dekatnya.

Selain bertujuan kekuasaan tidak berpindah tangan, strategi mencalonkan orang-orang terdekat dalam pemilu juga untuk menjamin dirinya selamat dari persoalan hukum setelah tidak berkuasa.

Etika Berkontestasi

Jelas tidak ada larangan bagi seseorang untuk berkontestasi dalam perebutan kekuasaan. Apalagi, itu dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Bahkan, secara jujur harus diakui bahwa demokrasi di negeri ini diselamatkan oleh mereka yang mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, dan pilkada.

Namun, penting diingatkan agar mereka yang running dalam perebutan kekuasaan senantiasa berpegang pada etika. Pesan tersebut penting karena, meminjam istilah Profesor Jimly Asshiddiqie, semua jabatan publik yang dikompetisikan secara bebas dan terbuka cenderung digunakan sebagai ajang mencari kekuasaan.

Lebih ironis lagi, jabatan-jabatan publik tersebut sering kali digunakan sebagai ajang mengembalikan sekaligus mengumpulkan modal finansial. Targetnya, mereka dapat berkontestasi dalam pemilu selanjutnya. Syahwat politik untuk terus berkuasa menjadikan sejumlah pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif terlibat berbagai kasus korupsi.

Keterlibatan pejabat publik dalam berbagai kasus korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Untuk itulah, tamsil kisah Adam yang terusir dari surga terasa penting direnungkan mereka yang sedang berjuang untuk meraih kekuasaan.

Mereka yang sedang antre di bawah pohon khuldi harus tetap menunjukkan cara-cara terhormat dan bermartabat. Penting diingat, kekuasaan yang diraih secara terhormat dan bermartabat pasti akan melahirkan pejabat publik yang berintegritas.

_________

Prof. Dr. Biyanto, M.Ag., penulis adalah Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer