23.3 C
Malang
Kamis, November 21, 2024
OpiniPrabowo Harus Meneladani Kepemimpinan Rasulullah

Prabowo Harus Meneladani Kepemimpinan Rasulullah

Prabowo Subianto. Foto:Kemenhan

MAKLUMAT — Qadarullah, Maulid Rasulullah Muhammad SAW (12 Rabiul Awal 1446 H) momentumnya relatif berdekatan dengan waktu pelantikan presiden terpilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Oktober 2024.

Bagi saya, pengaitan ini merupakan hal yang sangat penting agar Prabowo Subianto — sebagai presiden terpilih — dapat menggali keteladanan dari manusia sempurna pilihan Tuhan, yaitu Muhammad SAW yang pernah menjadi top leader negeri Madinah, dan berhasil mengantarkannya menjadi Madinatul al-Munawarah atau kota yang bercahaya.

Penulis: Abdullah Sidiq Notonegoro*

Ada sejumlah alasan agar Prabowo sebagai presiden terpilih  bisa memetik keteladanan dari Nabi kaum muslimin ini berkaitan dengan perannya kelak sebagai pemimpin bangsa Indonesia.

Pertama, Rasulullah Muhammad SAW merupakan sosok pemimpin yang tanpa cela. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya sebagai teladan, termasuk dalam menjalankan peran sebagai pemimpin bangsa.

Kedua, Prabowo merupakan pribadi yang religius dan dekat dengan umat Islam. Paling tidak, sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen Kivlan Zen dalam bukunya yang berjudul “Konflik dan Integrasi TNI AD” yang diterbitkan oleh Institute for Policy studies (2004).

Ketiga, tantangan kepemimpinan Prabowo Subianto di Indonesia (mungkin) relatif sama dengan tantangan yang dihadapi Rasulullah kala menjadi pemimpin Arab (Madinah) kala itu.

Mungkin ada yang menyatakan bahwa tidak akan mungkin ada satupun pemimpin di muka bumi ini yang mampu meniru kepemimpinan Muhammad SAW, maka jawabannya “sangat benar”.

Justru itulah, pesan moral ini perlu digaungkan bahwa mencari sosok teladan haruslah berasal sosok yang sempurna. Tidak dipungkiri bahwa saat ini, negeri ini ibaratnya sedang berada dalam alam jahiliyah, ketidakadilan dan diskriminasi yang menjadikan masyarakat bawah semakin tidak berdaya, sedangkan mereka yang bergelimang kuasa semakin pongah.

Meneladani Muhammad SAW bukanlah hal yang berlebihan, apalagi sampai dituduh sebagai bagian dari eksklusivisme tertutup. Meneladani gaya kepemimpinan Muhammad SAW merupakan bagian dari kewarasan pikiran, terlebih dalam merawat nilai-nilai substansial demokrasi.

Jabatan adalah amanah

Dalam perspektif Islam, kepemimpinan terhadap bangsa bukan sekedar urusan yang selesai di dunia. Sebagai masyarakat bangsa yang menjunjung tinggi nilai religius dengan menempatkan Tuhan dalam posisi tertinggi pada dasar negara (Pancasila), siapapun yang menetapkan pilihan sebagai pemimpin harus pula memiliki kesadaran akan pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban ini tidak hanya sebatas pada masyarakat bangsa yang dipimpin (habl min an-nas), namun juga pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (habl min al-Lah).

Dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Muhammad SAW bersabda, “masing-masing kalian adalah pemimpin, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya”.

Kesadaran pertanggungjawaban kepada masyarakat dan kepada Tuhan merupakan hal yang sangat vital dalam menghantarkan negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, yaitu negeri yang mendapatkan keberkahan.

Karena itu, sosok pemimpin negeri yang ideal merupakan sosok yang selalu merasa sadar bahwa tingkah lakunya selalu dalam pengawasan masyarakat dan Tuhan.

Amanat masyarakat dalam hal kepemimpinan bangsa ini harus dijaga dengan penuh tanggung jawab, dan jangan berkhianat dengan cara mengingkari terhadap hal-hal yang sudah diperjanjikan selama dalam kampanye. Seburuk-buruknya manusia adalah yang berkhianat terhadap apa yang sudah diucapkannya.

Muhammad SAW sukses memimpin masyarakat Madinah yang heterogen dan pluralis, semata-mata karena kegigihannya dalam memegang amanah.

Muhammad SAW sebagai pemimpin pemerintahan Madinah merumuskan Piagam Madinah sebagai tata aturan dalam kehidupan berbangsa berdasarkan hasil kesepakatan seluruh masyarakat Madinah.

Heterogenitas keyakinan (agama) dan suku tidak menjadi penghalang dalam berperilaku adil. Keberadaan umat Islam yang mayoritas tidak mengurangi tanggungjawab Muhammad SAW untuk menegakkan keadilan secara beradab.

Musyawarah dan Toleransi

Hal lain yang benar-benar dijaga oleh Muhammad SAW selama menjadi pemimpin Madinah adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

Praktik keadilan ini tentu bersinggungan dalam penegakan hukum kepada masyarakat. Muhammad SAW dengan jiwa religiusitasnya meyakini bahwa “ketidakadilan” merupakan sumber utama malapetaka. Dengan kata lain, hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah merupakan sumber utama kebinasaan.

Dalam hal keadilan, Rasulullah bersabda, “Hai segenap manusia! Sesungguhnya tidak lain yang membinasakan orang-orang sebelum kamu ialah : apabila orang terpandang (elit) di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak dijatuhi hukuman) dan apabila orang yang lemah (alit) diantara mereka mencuri, mereka menetapkan hukuman diatasnya….. (HR. Muslim).

Konsep keadilan pasti akan bisa dirumuskan dengan baik manakala suara masyarakat didengarkan secara adil oleh pemerintah/penguasa.

Keberadaan kelompok elit dan kelompok alit tidak boleh menjadi penghalang untuk terselenggaranya musyawarah secara adil dan bijaksana. Karena itu, internalisasi dan kristalisasi sila ke-2 dari Pancasila harus bisa dilakukan secara baik dan benar.

Saling menghormati dan menghargai perbedaan, empati dan toleransi serta menjaga kerukunan melalui budaya musyawarah secara adil harus dijadikan landasan berkehidupan.

Musyawarah dan toleransi bisa diwujudkan oleh pola kepemimpinan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Pemerintahan yang tidak gemar memaksakan kehendak dan merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya daripada masyarakat itu sendiri.

Munculnya gelombang protes melalui berbagai aksi — yang oleh sebagian besar elit penguasa dianggap sebagai hal yang tidak berguna dan melanggar norma — seperti unjuk rasa, mimbar bebas dan demonstrasi merupakan fenomena mengguritanya fenomena hukum yang tidak memihak pada keadilan sosial secara beradab.

Akhirnya, semoga asa bangsa ini mampu diterjemahkan oleh Prabowo dalam kerja nyata, kerja yang benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat bangsa secara bahagia.

* Anggota Majelis Pustaka dan Informasi Digital. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.

*Artikel ini sudah pernah naik di Jawa Pos 16 September 2024.

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer