POSITIONING Muhammadiyah dalam politik sejak berdiri hingga sekarang tidaklah berubah. Muhammadiyah masih berjalan di atas khitah 1912. Di mana khitah tersebut menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai organisasi non politik, dalam pengertian Muhammadiyah tidak secara langsung terlibat politik dukung-mendukung.
Muhammadiyah dalam politik praktis terhitung hanya pernah menjadi bagian dari Masyumi. Setelah sebelumnya pernah menjadi bagian dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan pada akhirnya Muhammadiyah keluar dari Masyumi. Sejak itu, Muhammadiyah secara organisatoris tidak punya keterkaitan dengan partai politik apapun.
Meski positioning Muhammadiyah dalam politik tetap sama dan jelas, tapi tokoh-tokoh Muhammadiyah cukup mewarnai dalam perpolitikan nasional, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan Indonesia. Tokoh Muhammadiyah diketahui banyak terlibat secara langsung dalam perpolitikan nasional seperti masuk BPUPKI, ikut serta merumuskan Pancasila dan lainnya.
“Bahwa ada rumusan atau khitah politik yang keluar, baik sebelum dan sesudah lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), atau pasca Pemilu 1971, maka khitah atau rumusan itu tidak lain untuk menguatkan posisi Muhammadiyah, yang tetap tidak ada keterkaitan dengan kekuatan pilitik manapun. Muhammadiyah tetap berjalan di atas khitah 1912,” kata Prof Ma’mun Murod dalam Pengajian Virtual Fokal IMM bertajuk: Muhammdiyah dan Pemilu 2024, Ahad (24/09/2023) malam.
Pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Kornas Fokal IMM itu menambahkan, selama masa orde baru, terjadi fusi atau penggabungan partai politik ke dalam tubuh Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tak terkecuali terjadi fusi empat partai Islam. Salah satunya adalah Parmusi, yang tergabung masuk ke dalam PPP.
“Sebagai besar warga Muhammadiyah memilih masuk PPP, dan sebagian mulai masuk ke Golkar. Waktu itu, belum terlihat ada kader Muhammadiyah yang masuk ke (PDI). Tapi setelah di PDI ada Moktar Bukhori, baru diketahui ada orang Muhammadiyah yang bergabung dengan PDI,” terang Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Masa itu, Prof Ma’mun menceritakan, gerak politik jamaah Muhammadiyah masih terlihat ada dimana-mana, sebagai sebuah kekuatan kultural Muhammadiyah dalam politik. Kekuatan kultural Muhammadiyah itupun masih hadir mewarnai perpolitikan nasional. Sayangnya, lambat laun kekuatan kultural politik di Muhammadiyah melemah, dan semakin melemah.
Kondisi itu diduga terjadi seiring dengan menguatnya kekuatan organisasi Persyarikatan. Saking kuatnya, kekuatan organisasi inilah yang kemudian mewarnai wajah jamaah Muhammadiyah menjadi orang sangat rigid dan kaku. Bahkan, menjadi puritan dalam urusan politik.
“Seharusnya cara pandang puritan itu tidak boleh dipakai dalam urusan politik. Sebab, politik itu hanya urusan muamalah. Jadinya, dengan cara pandang puritan, politik dilihat dengan cara pandang hitam putih pula. Politik dilihat dan ditafsirkan benar atau salah. Halal atau haram,” keluhnya.
Pria asal Brebes, Jawa Tengah itu pun berharap ada upaya untuk mendekontruksi cara pandang politik warga Muhammadiyah yang cenderung puritan tersebut. “Tidak nyambung kalau cara pandang puritan dipakai untuk politik. Wong itu urusan muamalah. Akhirnya, ketika kita melihat politik yang dengan cara pandang hitam putih. Kaku atau tidak luwes. Harus didekonstruksi itu,” kritiknya.
Prof Ma’mun kemudian menyarankan supaya warga Muhammadiyah membangkitkan kembali kekuatan-kekuatan kultural Muhammadiyah, yang dinilai kini mulai punah. Sebab, gerak langkah Muhammadiyah saat ini sudah cenderung terlalu formalistik. Termasuk dalam urusan politik.
”Maka penting untuk menghidupkan kembali kekuatan kultural di Muhammadiyah. Semisal, komunitas pedagang batik, buruh, petani dan termasuk adanya Fokal IMM ini. Kita butuh kekuatan yang tidak secara langsung berkenaan atau terkait dengan Muhammadiyah, tapi tetap hadir untuk Muhammadiyah,” tandasnya. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Mohammad Ilham