25.4 C
Malang
Sabtu, Juli 27, 2024
OpiniRefleksi 25 Tahun, Menakar Interelasi PAN–Muhammadiyah

Refleksi 25 Tahun, Menakar Interelasi PAN–Muhammadiyah

Agung Supriyanto.

LAGU berjudul “Ojo Dibandingke” menjadi fenomenal setelah digemakan oleh penyanyi Farel Prayogi saat perayaan kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia di Istana Negara. Meminjam frasa ”Ojo Dibandingke” jika dijadikan variabel linier antara Muhammadiyah–PAN (Partai Amanat Nasional), lalu membandingkan Muhammadiyah dengan partai yang lain, maka Muhammadiyah–PAN tentu yang paling berkorelasi kuantitatif.

Relasi khusus Muhammadiyah dan PAN diperkuat keluarnya pernyataan sidang Tanwir yang dilaksanakan pada 5-7 Juni 1998 di Kota Semarang, Jawa Tengah. Melalui rekomendasi dari Komisi C Pimpinan Muhammadiyah menetapkan dengan resmi bahwa  PAN sebagai bentuk ijtihad politik Muhammadiyah. Keputusan ini diambil tentu dibarengi dengan harapan kuat dapat digunakan wadah berkiprah para kader Muhammadiyah dalam konteks fungsional di jalur politik.

Diferensiasi PAN dan Muhammadiyah, dibandingkan Muhammadiyah dengan partai lain jelas berbeda akar. Sebab, perlu digaris bawahi bahwa Partai Amanat Nasional merupakan satu-satunya partai yang dilahirkan secara alamiah dari rahim ibu bernama ”Muhamamadiyah”.

Berpangkal historis genealogi, Muhammadiyah dan PAN adalah satuan, maka jika ada yang berkehendak memisahkan Muhammadiyah dari PAN, saya meyakini hasilnya hanya akan disebut ”bertepuk sebelah tangan” alias sia-sia. Secara faktual keorganisasian  PAN memang di luar Muhammadiyah, tetapi dari historis keduanya bertali erat.

Terbangunnya infrastruktur PAN mulai jenjang kepengurusan DPP, DPW, DPD, DPC hingga Ranting secara nasional semakin menegaskan kuatnya ikatan tersebut. Terlebih, mayoritas jenjang kepengurusan diisi oleh para kader Muhammadiyah. Atas dasar itu pula, PAN dan Muhammadiyah sesungguhnya senapas dalam peran dan rentetan sejarah perjuangan membangun ”Kehormatan Besar.”

Political Engagement

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern Terbesar di Indonesia tidak dapat lepas dari dinamika kehidupan nasional. Keberadaan dan peran Muhammadiyah sebagai kekuatan bangsa sejak perjuangan kemerdekaan hingga dinamika kehidupan kebangsaan saat ini, terutama bersangkutan dengan politik, ekonomi, juga sosial budaya. Gerakan Muhammadiyah memperteguh organisasi ini menjadi pilar perubahan.

Disamping itu, satu hal yang patut menjadi perhatian bahwa garis perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah islam telah memberi ketegasan kesadaran institusional, agar untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Sikap ini diperkuat dengan khittah Denpasar tahun 2002, hingga diperkuat Muktamar ke-48 pada 2022 di kota Surakarta. Sehingga atas dasar itulah sikap Muhammadiyah tetap konsisten tidak terlihat dalam politik partisan.

Akan tetapi walau ketegasan kesadaran institusional Muhammadiyah menghindari politik praktis, sisi lain tak bisa dimungkiri bahwa pada tahapan pemutakhiran sejarah para kader elit Muhammadiyah masih terlibat dalam politik partisan; diawali terlibat di Sarekat Islam era Tjokroaminoto tahun 1920-an, Partai Islam Indonesia ( PII ) tahun 1938, Masyumi 1945-1958, Partai Muslimin Indonesia tahun 1971.

Tesis sejarah inilah yang mempertegas bahwa meski secara institusional Muhammadiyah melarang terlibat dalam politik praktis, akan tetapi kesadaran individual para kader Muhammadiyah dalam politik partisan tak sepenuhnya bisa dicegah.

Memang, patut diterima bahwa dalam proses dialektika mencari formulasi paling logis untuk menempatkan politik praktis dalam anatomi organ Muhammadiyah sejak berdirinya Muhammadiyah sampai saat ini  perkara yang tidak sederhana, hal ini dikarenakan di tubuh Muhammadiyah masih terjadi polarisasi perspektif terhadap penafsiran politik praktis.

Bagi yang progresif, Muhammadiyah diharapkan untuk lebih leluasa terlibat dalam politik praktis. Sebab, dengan cara itu Muhammadiyah bisa lebih mengoptimalkan sebagai trigger untuk mewujudkan tujuan negara. Sementara bagi yang regresif, berargumen bahwa politik praktis adalah ranah abu-abu, sehingga ada kekhawatiran marwah Muhammadiyah yang mengedepankan nilai moral bakal pudar. .

Walau pun sudut pandang pengurus Muhammadiyah dalam keterlibatan politik praktis masih menimbulkan banyak bantahan, tetapi tak bisa dipungkiri, sekali lagi realitasnya setiap aksi kesejarahan  keterlibatan para elit Muhammadiyah dalam politik praktis  tak bisa dihalau. Giatnya para kader elit Muhammadiyah masuk dalam politik praktis bisa jadi lantaran apologi, ”Maka dengan kekuasaanlah mereka lebih berpeluang optimal memperjuangkan amal usaha lembaga Muhammadiyah.”

Dalil di atas dipertegas sebagaimana ungkapan seorang ilmuwan politik Rogers Smith bahwa melalui kekuasaanlah seseorang atau kelompok mampu mengubah lebih spesifik terhadap keinginan yang diharapkan, yaitu menyangkut urusan kekuasaan maupun kegiatan usaha lainnya.

Logika tersebut ada benarnya juga, karena negara ini dibentuk dengan tujuan sebagaimana amanat konstitusi, yakni mencerdaskan, menyejahterakan dan melindungi segenap bangsa. Maka tujuan tersebut selaras dengan amal usaha yang selama ini diperjuangkan Muhammadiyah.

Adapun keseluruhan tujuan negara yang mulia tersebut menyangkut tata kepengurusannya diserahkan sepenuhnya baik kewenangan maupun pengelolaan keuangannya ada di kekuasan, dalam hal ini kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sehingga atas dasar itu dibilang semakin wajar jika kader-kader elit Muhammadiyah baik di pusat maupun daerah sulit mengelak untuk tidak bergulat dalam politik praktis. Karena jalur kekuasaan  dapat lebih memperkuat gerakan Muhammadiyah melalui amal usaha yang telah dijalankan.

Jawa Timur Berbasis PAN

Motto meraih sukses PAN Jawa Timur adalah ”Jawa Timur Berbasis PAN”. Ini adalah gagasan besar dan bentuk keputusan Ketua DPW PAN Jawa Timur, yaitu Saudaraku Achmad Riski Sadig yang tak boleh ditawar. Letupan spirit ini muncul dengan harapan agar PAN Jatim lebih membumi, membuka komunikasi dengan berbagai lapisan, memperkaya basis PAN.

Maksud Jawa Timur berbasis PAN tentu bukan bermaksud PAN di Jawa Timur sebagai majority party atau pemenang terbesar, melainkan Jawa Timur berbasis PAN dengan harapan keseluruhan Daerah Pemilihan (Dapil) di Jawa Timur dapat menempatkan kader PAN di tiap Dapil, kemudian lolos sebagai legislator.

Mewujudkan platform Jatim berbasis PAN memang butuh ongkos dan sokongan energi yang besar, mengingat modal dasar terbilang belum memuaskan. Dengan jumlah Dapil DPRD provinsi dari 14 Dapil PAN mendapatkan 6 kursi, sedangkan DPR RI dari 11 Dapil yang disediakan PAN baru mendapatkan 5 kursi.

Rangkaian ikhtiar guna mewujudkan Jatim berbasis PAN dengan basis geologi politik di Jatim yang heterogen,  wajah kader PAN Jatim memerlukan polesan yang lebih menarik, tidak boleh menampilkan wajah sangar, terpisah dari yang lain dan susah bergaul, tetapi harus mengekspresikan wajah yang lebih tenang, segar memberi harapan dan kegairahan menyapa banyak pihak lebih luwes.

Dan harus diakui, sejak DPW PAN dinahkodai oleh saudaraku Riski Sadig  kemampuan menempatkan PAN Jatim sebagai partai yang modern dengan ciri terbuka dan moderat telah berjalan  tanpa celaan. Sekian banyak kegiatan yang sifatnya silaturahmi maupun pertemuan  di semua lapisan masyarakat sejak dirinya memimpin PAN Jawa Timur berlangsung dengan hasil melegakan. Sehingga tidak salah bila berbagai tokoh mayarakat mulai kalangan Muhammadiyah, NU, akademisi dan kalangan milenial merespon sangat baik eksistensi PAN bentukan Riski Sadig saat ini.

Hari ini, tanggal 23 Agustus 2023 genaplah PAN berusia 25 tahun. Sebagaimana tamsil pernikahan, persetubuhan kebangsaan antara PAN dan rakyat: 25 tahun adalah usia ”perak.” Tribute atau kado untuk partai yang semakin matang menghadapi kehidupan  politik beserta dinamikanya yang kian kompleks.

Akhirul kata, tak dimungkiri bahwa sebagai peletak pondasi awal terbangunnya rumah PAN tiada lain adalah Muhammadiyah, akan tetapi bila kader PAN berharap  rumah PAN bisa berdiri perkasa, kekokohan tidak cukup jika hanya bertumpu di ceruk Muhammadiyah, masih diperlukan telaga-telaga lain, bahkan lautan luas agar PAN semakin berjaya berlayar. (*)

Agung Supriyanto, Penulis adalah Sekretaris LHKP PWM Jatim, Anggota DPRD Jatim, dan Caleg DPR RI Dapil Bojonegoro-Tuban.

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer