PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) memberikan karpet merah untuk organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan bisa mendapatkan izin kelola tambang atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Kebijakan itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, tepatnya dalam Pasal 83A.
Beberapa organisasi masyarakat (ormas) keagamaan telah merespons kebijakan baru pemerintah itu. Salah satunya adalah Nadhlatul Ulama (NU), yang menjadi ormas keagamaan pertama dan terang-terangan menerima konsesi tambang dari pemerintah.
Sedangkan, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ikut gelombang ormas keagamaan yang secara tegas menolak tawaran WIUPK.
Lantas bagaimana Persyarikatan Muhammadiyah menyikapi tawaran izin pengelolaan tambang dari pemerintah? Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan tanggapannya terkait tawaran izin kelola tambang dari Pemerintah.
Haedar mengatakan, Muhammadiyah sudah mengurus berbagai aspek mulai dari pendidikan, kesehatan hingga ekonomi. Sedangkan menyangkut sumber daya alam, menurut dia harus diurus. Namun tidak boleh dirusak.
“Ekonomi harus diurus, sumber daya alam, hutan, laut dengan ikannya, airnya harus dirawat, kemudian tambang segala macam harus diolah, tapi jangan dirusak. Jadi tidak boleh dibiarkan alam itu rusak,” kata Haedar saat menyampaikan Amanat di UMMI Kota Sukabumi, Kamis (13/6/2024).
Pernyataan itu disampaikan Haedar di depan civitas akademika Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) ketika Sidang Terbuka Senat dalam Milad ke-21.
Haedar menjelaskan, ada dua watak seorang muslim. Yang pertama sebagai seorang pengabdi Allah dan kedua sebagai khalifah di muka bumi.
“Sekarang orang ramai soal tambang padahal urusan simpel saja. Tambang, sawit, ikan, itu batu, dan semua harus kita olah. Kalau ada yang merusak dengan cara dan maksud mengolah, nah itu ditertibkan oleh hukum, ditertibkan oleh segala sistem,” ujarnya.
“Bukan berarti kita tidak boleh hanya karena orang lain buruk. Justru kalau ingin menunjukkan uswah hasanah kita tunjukkan bahwa kita bisa. Jadi ini soal mau ambil kesempatan atau tidak itu urusan kebijakan. Kebijakan Muhammadiyah dan ormas lain yang sebetulnya itu hal yang tadi saya ngobrol dengan Kang Teten (Menkop UKM) itu sesuatu yang simpel,” sambungnya.
Haedar lalu mencontohkan kegiatan pertambangan dengan penggalian tanah untuk kebutuhan produksi batu bata atau genting. “Seperti penduduk itu kan biasa gali tanah untuk batu bata, untuk genting, bahkan banyak meninggalkan lubang gede-gede,” katanya.
“Jadi hal yang biasa, tapi jangan dirusak, cuma harus dijaga, dirawat dan tidak boleh dirusak. Jadi sesuatu, semuanya bagi Muhammadiyah urusan dunia itu harus diurus dengan baik,” ucap dia.
Haedar beranggapan, sebagai negara dengan mayoritas Islam maka harus dapat memiliki dan mengolah tanah airnya dengan baik. Agama berpesan seorang mukmin harus kuat dan tidak menadahkan tangan.
“Karena apa? Karena mayoritas umat Islam di negeri ini dan warga bangsa Indonesia itu kan harus memiliki dan mengolah tanah airnya dengan baik, kita harus berdaya. Dan itu pesan agama kan, mukmin yang kuat itu jauh lebih baik dan lebih dicintai Allah ketimbang yang lemah. Kita tidak boleh jadi selalu tangan di bawah, alhamdulillah kami organisasi yang mandiri, namun tetap terbuka untuk berkolaborasi,” tutupnya.
Sebelumnya, Sekretaris PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, mengakui belum ada pembicaraan terkait izin tersebut dengan Muhammadiyah. Disebutkan, jika nantinya ada penawaran, Muhammadiyah akan membahasnya dengan seksama agar tidak menimbulkan masalah.
“Kalau ada penawaran resmi Pemerintah kepada Muhammadiyah akan dibahas dengan seksama. Muhammadiyah tidak akan tergesa-gesa dan mengukur kemampuan diri agar pengelolaan tambang tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara,” ujar dia kepada detikNews.
Mu’ti juga menjelaskan perizinan merupakan wewenang pemerintah meski harus ada syarat yang dipenuhi. Untuk itu, pengelolaan tambang tidak menjadi otomatis wewenang ormas.
“Terkait dengan kemungkinan ormas keagamaan dapat mengelola tambang itu merupakan wewenang Pemerintah. Kemungkinan ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis karena harus memenuhi persyaratan,” pungkasnya.
Sumber: Detikjabar
Editor: Aan Hariyanto