MAKLUMAT — Istilah topo broto merujuk pada konsep Jawa yang sering dipakai untuk menggambarkan seseorang yang telah menyelesaikan tugas-tugas besar dalam hidupnya dan memutuskan untuk mengikhlaskan segala sesuatu dengan segenap hati.
Dalam konteks politik Indonesia, periode pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bisa disebut telah usai. Presiden terpilih yang baru telah mendapatkan mandat kuat dari rakyat dengan perolehan suara yang signifikan.
Seharusnya, ini menjadi waktu yang tepat bagi Jokowi untuk melakukan “mandek pandito” dan topo broto di tengah realitas politik yang ada. Namun, ada upaya yang terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa Jokowi masih memegang kendali penuh, seolah-olah belum ada sinyal peralihan kekuasaan.
Langkah Jokowi untuk berkantor di Ibu Kota Nusantara (IKN) bisa dimaknai dengan dua tafsir. Pertama, ini bisa dianggap sebagai manuver kekuasaan yang menunjukkan bahwa IKN sudah efektif untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Dengan berkantornya Jokowi di IKN, ia ingin menunjukkan bahwa ibu kota baru ini bisa menjadi pusat kendali pemerintahan. Ini adalah upaya simbolis untuk memperlihatkan bahwa IKN adalah simbol kekuatan baru yang siap menggantikan Jakarta.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur di IKN masih jauh dari memadai. Banyak yang mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam membangun IKN sebagai pusat pemerintahan yang baru.
Politik simbolis seperti ini memang menjadi salah satu ciri khas Jokowi dalam memimpin. Ia kerap menggunakan simbol-simbol dan gestur politik untuk menegaskan posisinya.
Kedua, langkah Jokowi berkantor di IKN juga bisa dianggap sebagai bagian dari pesan politik bahwa ia telah melakukan topo broto, setelah membaca realitas bahwa Jakarta sebagai episentrum politik tidak lagi berpihak padanya.
Kekuatan-kekuatan politik secara perlahan mulai meninggalkannya. Situasi ini semakin nyata ketika DPR mengikuti keputusan MK, meskipun sebelumnya banyak diketahui ada upaya keras untuk terus mengatur Pilkada dan mengendalikan situasi politik di Jakarta.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Jokowi mulai kehilangan daya tawar politiknya. Dalam konteks ini, keputusan Jokowi untuk berkantor di IKN bisa dianggap sebagai topo broto dalam keterpaksaan.
Ia seolah-olah “mengasingkan diri” ke IKN karena tidak lagi mendapatkan dukungan penuh di Jakarta. Fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk topo broto yang berbeda dari konsep aslinya.
Alih-alih mengikhlaskan segalanya dan menerima realitas dengan tenang, topo broto Jokowi di IKN lebih terkesan sebagai langkah politik yang dipaksakan oleh keadaan.
Mungkin ini adalah bentuk pengakuan tak langsung bahwa kekuatan politik di Jakarta sudah tidak lagi berada di bawah kendalinya.
Hal ini semakin jelas terlihat ketika beberapa keputusan penting diambil tanpa pengaruh signifikan dari pihak Jokowi, seperti keputusan DPR yang mengikuti MK tanpa adanya upaya lebih lanjut dari pihak eksekutif.
Namun, di balik semua ini, langkah Jokowi untuk berkantor di IKN juga bisa dipandang sebagai sebuah peringatan kepada semua pihak.
Peringatan bahwa meskipun secara formal ia telah menyelesaikan masa jabatannya, ia masih berusaha tetap relevan dalam peta politik Indonesia.
Ini adalah cara untuk tetap “hadir” di tengah dinamika politik yang terus berubah. Langkah ini juga bisa dilihat sebagai upaya untuk menjaga warisan politiknya, terutama terkait proyek besar IKN yang digagasnya.
Pada akhirnya, publik perlu mencermati setiap langkah politik yang diambil. Apakah keputusan berkantor di IKN ini benar-benar demi kepentingan negara dan pembangunan ibu kota baru?
Ataukah ini hanya sebuah langkah simbolis untuk menunjukkan bahwa Jokowi masih memiliki kekuasaan dan pengaruh?
Dalam politik, apa yang terlihat di permukaan seringkali bukanlah gambaran utuh dari apa yang sebenarnya terjadi. Fenomena topo broto Jokowi di IKN menjadi salah satu contoh bagaimana kekuasaan seringkali dimainkan dalam bentuk simbolis dan gestur politik yang penuh makna.
Mari kita sama-sama cermati.
_________
Ahmad Rofiq. Penulis adalah Sekretaris Partai Perindo