INVASI militer Israel yang sangat brutal dan berskala masif ke Jalur Gaza sudah berlangsung 8 bulan. Perundingan penghentian perang (cessation) di Kairo 12 Mei 2024 berakhir buntu dan masing-masing delegasi meninggalkan meja perundingan hari itu juga.
Delegasi Israel Kembali ke Tel Aviv dan Hamas kembali ke Doha. Bagaimana masa depan gencatan senjata tetap gelap dan perundingan macam apalagi yang akan dilakukan antara Israel dan Palestina juga belum jelas seperti apa agendanya.
Yang jelas hanyalah satu: Israel menyatakan tekadnya untuk melanjutkan operasi perangnya ke Rafah sampai kemenangan dicapai secara penuh dan Hamas dihancurkan. Tidak pernah jelas apa definisi kemenangan sepenuhnya dan apalagi batasan kehancuran Hamas itu.
Pasalnya, Israel menyerang semua orang yang ada di Gaza (apakah semuanya Hamas?). Dan, Israel juga menghancurkan semua bangunan yang ada di Gaza. Media dunia telah melaporkan foto-foto yang menunjukkan bahwa 75% bangunan (rumah, apartemen, sekolah, masjid, gereja, rumah sakit) yang ada di Gaza sudah hancur lebur. Kehancuran yang mana lagi yang hendak kamu inginkan, Israel?
Skenario Penghancuran dan Pembasmian
Sangat meyakinkan Israel memang menginginkan kehancuran total Gaza. Kehancuran infrastruktur fisik sekaligus penduduknya. Gaza adalah palang terakhir eksistensi perlawanan Palestina. Sudah terbukti orang-orang Palestina, termasuk Pemerintahan Otoritas Palestina dan seluruh aparatnya yang berada di Tepi Barat (West Bank) sudah tidak mampu melakukan perlawanan apapun yang memiliki akibat yang signifikan bagi keamanan Israel.
Bangsa Palestina yang berada di Tepi Barat, apalagi yang berada di pemukiman-pemukiman Israel, sudah terkunci mati semuanya. Bagi Israel jika Gaza habis, maka habislah pula eksistensi Palestina dan Bangsa Palestina. Yang ada adalah dan hanyalah orang-orang Palestina yang menjadi warga negara (citizen) Israel yang jumlahnya sekitar 18% dari total penduduk Israel seluruhnya.
Skenario ini tampak dari tekad Israel yang menggebu untuk terus-menerus menyerang Gaza baik dari darat maupun Udara. Israel juga menolak secara kategoris desakan dan tekanan internasional apapun untuk dilakukannya perdamaian, gencatan senjata, bahkan sekadar penghentian perang (cessation) sekalipun.
Demo-demo berskala masif terus berjalan di hamper seluruh dunia, bahkan di negara-negara Barat (Eropa dan Amerika). Universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat bergolak karena aksi-aksi demo menentang sikap pemerintah Amerika yang masih tetap bersikukuh mendukung dan membantu Israel dengan pasokan amunisi, senjata penghancur dan pembunuh.
Para pendemo memprotes keras sikap pemerintahan Presiden Joe Biden tersebut dan mengkategorikan Amerika Serikat sebagai pendukung genosida dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Betapa anehnya negara yang mengklaim dirinya kampiun demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) malah membantu mempersenjatai pelaku genosida lengkap dengan dana dan amunisinya! Betapa malunya civitas academica universitas-universitas terbaik dunia seperti Universitas Harvard, Universitas Columbia, Universitas Yale, dan lain-lainnya memiliki pemerintahan yang mendukung genosida, ethnic cleansing, dan pencipta katastropi di Gaza yang sesadis dan sebengis itu.
Amerika membiarkan (allowing) saja hal itu terjadi di Gaza sudah merupakan cacat moral yang luar biasa tercela bagi negara itu. Apalagi Amerika mendukung serta menyuplai senjata dan amunisi untuk sebuah ethnic cleansing. Bagaimana bisa terjadi sebuah negara yang membanggakan dirinya sebagai A City Upon A Hil dan the Chosen Nation bisa menjadi bangsa yang seburuk dan sebrengsek itu!
Betapa tidak! Sementara dukungan politik dan senjata Amerika terus mengalir, dukungan politiknya dalam hampir semua forum internasional juga terus berjalan dengan arogannya dengan memveto semua Rancangan Keputusan Dewan Keamanan PBB yang dipandang Israel merugikan dirinya. Pokoknya apapun rancangan ketetapan PBB yang dipandang merugikan Israel akan dicegah oleh Amerika dengan veto.
Presiden Amerika Joe Biden hanya menegaskan secara verbal akan menunda pengiriman suplai amunisi ke Israel saja cukup menimbulkan kecaman dan kemarahan dari partai-partai ultra orthodox ekstrimis Israel. Amerika memang memiliki hubungan istimewa dengan Israel, dan semua politikus Amerika paling takut kalah Pemilu jika tidak memberikan dukungan yang nyata dan besar bagi eksistensi dan keamanan Negara Zionisme Israel itu!
Malah Ngemplang!
Dalam situasi dimana Gaza mengalami krisis kemanusiaan (kelaparan dan gelandangan tanpa rumah) yang parah, Amerika Serikat dan beberapa negara Barat malah menghentikan pembayaran iuran tahunan bagi UNWRA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East), sebuah badan PBB yang mengurusi pengungsi Palestina.
Negara-negara yang belum memberikan pendanaan untuk UNWRA (baca: sengaja ngemplang dengan beberapa dalih dan alasan) adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Austria. Sementara, meski penuh tantangan dan berat, UNRWA diharuskan untuk masih tetap dapat beroperasi hingga akhir tahun.
Itu belum lagi dengan perkembangan politik domestik Amerika Serikat yang pada tahun 2024 ini akan menggelar Pemilihan Presiden. Kekhawatiran terutama terkait dengan hasil Pemilu nanti apakah Presiden dan Kongres hasil Pemilu 2024 nanti setuju pemberian dana lagi ke UNRWA. Pasalnya, Kongres menyatakan penghentian iuran UNRWA hingga Maret 2025.
Ini serius oleh karena Amerika faktanya merupakan penyumbang terbesar UNRWA. Tak heran jika kini mulai ada pembahasan yang serius atas gagasan akses zakat bagi UNRWA termasuk rencana dilakukannya penggalangan dana di negara-negara Arab dan Islam, termasuk Indonesia.
Tak ayal dengan perkembangan seperti itu bantuan kemanusiaan ke Gaza mengalami gangguan serius. Diberitakan sudah beberapa hari sejak Rafah di Bawah kekuasaan militer Israel bantuan kemanusiaan berhenti sama sekali.
Sejak Israel menguasai pos perbatasan (boarder) Rafah bantuan kemanusiaan sama sekali tidak bisa masuk ke Gaza karena dicegah tentara Israel. Bantuan makanan dan obat-obatan yang selama ini diangkut dengan truk-truk melalui Koridor Yordania (via Karam Abu Salam dan Erez/Gaza Utara) juga dihambat dan bahkan ‘diserang’ oleh para pemukim ekstremis Israel.
Bukan hanya itu, para pemukim Israel juga mulai terang-terangan mengintimidasi ke Kantor UNRWA di Yerusalem, sedangkan kantor UNRWA di Gaza juga nyaris lumpuh diintimidasi oleh kehadiran tank-tank militer Israel dalam Jarak hanya dua atau tiga kilometer.
Akibatnya bantuan yang berasal dari UNRWA harus ‘disusupkan’ di Bawah bendera WFP (World Food Programme) atau JHCO (The Jordan Hashemite Charity Organization), atau diterjunkan langsung dengan pesawat udara, yang ironisnya untuk bisa terbang mengudara pun harus dengan izin otoritas Israel.
Sementara bantuan dengan label UNRWA ditolak secara kategoris oleh Israel. Dalam hari-hari terakhir ini bantuan-bantuan dari mana pun tidak lagi bisa dikirim melalui darat. Sebuah tragedy kemanusiaan di abad modern, abad ke-21!
Hajriyanto Y. Thohari, Penulis adalah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Lebanon dan mantan Wakil Ketua MPR RI
Tulisan ini pernah dimuat dengan judul yang sama di Majalah MATAN Edisi 215: Juni 2024