Wacana Sertifikasi Influencer, Akademisi UMY: Penting untuk Etika dan Profesionalisme Digital

Wacana Sertifikasi Influencer, Akademisi UMY: Penting untuk Etika dan Profesionalisme Digital

MAKLUMAT — Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Filosa Gita Sukmono SIKom MA, menilai wacana penerapan sertifikasi khusus bagi influencer dapat menjadi suatu instrumen penting untuk membangun ekosistem digital yang lebih sehat dan profesional.

Sekadar diketahui, sebelumnya DPR RI mewacanakan bakal memberlakukan sertifikasi khusus bagi influencer, yang kemudian memantik pembahasan luas di berbagai kalangan, serta memunculkan diskusi baru tentang pentingnya standar profesionalisme di ruang digital.

Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital dan semakin besarnya pengaruh kreator konten terhadap opini publik, regulasi dinilai perlu disiapkan agar kebebasan berekspresi tetap sejalan dengan etika, tanggung jawab, dan akurasi informasi.

Dr Filosa Gita Sukmono SIKom MA
Dr Filosa Gita Sukmono SIKom MA

“Sertifikasi influencer bisa dilihat dari dua sisi, (yakni) keterampilan dan etika,” ujar Filosa, sebagaimana dikutip dari laman resmi UMY pada Rabu (5/11/2025).

“Banyak konten kreator yang belum memahami regulasi yang berlaku di Indonesia. Kadang mereka mengunggah konten yang justru berpotensi memecah belah atau menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Dengan adanya sertifikasi, influencer bisa dinilai secara profesional,” sambungnya.

Menurut Filosa, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital membawa manfaat ekonomi yang besar, tetapi pada sisi yang lain juga menimbulkan berbagai persoalan etika komunikasi. Ia menilai, banyak kreator yang hanya fokus pada konten viral dan monetisasi, tanpa mempertimbangkan akurasi serta tanggung jawab sosial sebagai dampaknya.

Baca Juga  Membaca Ulang Surat Terbuka Penolakan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

“Perkembangan ekonomi digital luar biasa cepat, tetapi pemerintah belum punya alat yang cukup kuat untuk melakukan filter. Banyak yang mengaku sebagai konten kreator meski belum punya kompetensi yang memadai,” selorohnya.

Di beberapa negara seperti China dan Singapura, kata Filosa, sudah lebih dulu menerapkan regulasi ketat untuk menjaga kualitas informasi. Meski begitu, menurutnya Indonesia perlu merancang model kebijakan yang sesuai dengan karakter ruang digital nasional yang bebas, dinamis, serta inklusif.

Tak cuma itu, ia juga mengakui bahwa wacana sertifikasi influencer berpotensi menimbulkan perdebatan, terutama terkait kekhawatiran akan pembatasan kebebasan berekspresi. Sebab itu, ia meminta agar pemerintah juga memastikan bagaimana sosialisasi dan komunikasi publik yang efektif supaya kebijakan tersebut dapat dipahami sebagai bentuk pembinaan, bukan pembatasan.

“Poin pentingnya bukan sekadar mengukur kemampuan teknis influencer dalam memproduksi konten, tetapi juga memastikan pemahaman mereka terhadap regulasi, literasi digital, dan moralitas publik,” tegasnya.

Meski cenderung mendukung wacana tersebut, ia juga mengingatkan agar penerapannya dilakukan secara hati-hati dan bertahap, mengingat dampaknya yang besar terhadap ekosistem digital di Indonesia.

“Kebijakan ini bisa mengubah dinamika ruang digital secara signifikan. Karena itu, perlu kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak agar hasilnya tidak menimbulkan distorsi,” pungkas Filosa.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *