PRAKTIK politik yang kurang mengedepankan etika dan moralitas menghadapi pesta demokrasi, pemilihan umum (Pemilu) 2024, menjadi sorotan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Menurut Wakil Ketua PWM Jatim Dr KH Muhammad Sholihin Fanani, perilaku para elit politik justru memunculkan gejala machiavellianisme yang merujuk pada menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan dan kekuasaannya.
Sholihin berpendapat, gejolak politik yang terjadi belakangan menunjukkan semakin hilangnya etika dalam berpolitik, sehingga memunculkan praktik-praktik politik yang culas. Hal itu dinilai akan berpotensi dan bisa menimbulkan kerusakan moralitas bangsa. Juga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu akan berpengaruh pada pembentukan paradigma masyarakat terhadap politik praktis secara tidak langsung.
“Saya ini agak miris belakangan ini mengikuti berita-berita politik. Segala cara dilakukan, dihalalkan untuk meraih kepentingannya, seperti sudah tidak ada itu yang namanya etika politik. Ada semacam radikalisme dalam praktik politik kita. Orang yang berbeda pilihan politik dianggap musuh yang harus disingkirkan,” kata dia kepada Maklumat.id, Selasa (7/11/2023).
Tak hanya di kalangan elit politiknya saja, mantan Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya itu juga menyesalkan praktik politik uang (money politic) yang ternyata menurut beberapa hasil survei juga seolah-olah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh sebagian masyarakat.
Menurut dia, sikap atau persepsi publik yang demikian juga adalah sebagai imbas dari perilaku machiavellian para elit, sehingga masyarakat merasa putus asa dan hilang kepercayaan terhadap para pejabat publik, lalu lebih memilih untuk bersikap pragmatis, asalkan dia mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu.
“Bayangkan, kalau orang-orang saja sudah melihat money politic itu sebagai hal yang wajar, padahal itu kan sama seperti suap. Itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau lumrah saja, berarti kita kan sudah kehilangan nilai, tidak ada itu moralitas dalam berpolitik,” ujar Sholihin.
Pria yang juga merupakan mantan Sekretaris Korwil FOKAL IMM Jawa Timur itu berharap agar segala praktik politik yang demikian tersebut dapat diperbaiki. Para kandidat dalam Pemilu 2024, menurut dia, harus mampu tampil sebagai sosok teladan, memberikan contoh berpolitik yang santun, beretika, dan penuh nilai atau substantif.
Sebaliknya, publik juga harus mau berkata tidak dan melakukan perlawanan terhadap praktik-praktik politik yang ‘keliru’. “(Tentang money politic) bukan dengan diterima uangnya, atau diterima pemberiannya lalu memilih yang lain, tapi jangan diterima sama sekali dan jangan dipilih, harus tegas dalam bersikap,” tandas Sholihin.
Lebih lanjut, Sholihin berpesan, bahwa menciptakan demokrasi yang sehat dan praktik politik yang bermartabat adalah tugas semua elemen, termasuk para muballigh seperti dirinya.
“Saya ini kan muballigh mas, ya ini tugas kita juga, untuk menyadarkan jamaah kita, agar menghindari money politic dan praktik-praktik berpolitik yang tidak etis, yang tidak beretika. Atau justru kita akan mengorbankan moralitas bangsa dan generasi masa depan hanya untuk mencapai kepentingan kekuasaan dan jabatan tertentu saja?” tegas Sholihin.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya selama Bulan Oktober 2023, sebanyak 27 persen anak muda di Jawa Timur memandang money politic sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa saja untuk dilakukan.
Sedangkan pada survei yang dilakukan oleh lembaga Surabaya Survey Center (SSC) selama Bulan Juli-Agustus 2023 lalu, sebanyak 25 persen responden di Jawa Timur akan memilih kandidat maupun partai politik (parpol) yang memberikan imbalan baik berupa uang, sembako, maupun barang lainnya. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto