
MAKLUMAT – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menjelaskan Revisi Undang-Undang (UU) Politik, yakni Partai Politik, Pemilu, dan Pilkada, tidak hanya berfokus pada isu-isu yang menarik perhatian publik, seperti mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau secara langsung.
Menurutnya, ada banyak aspek lain dalam sistem kepemiluan dan kepartaian yang perlu diperhatikan. Hal itu ia sampaikan dalam seminar yang diadakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik (PSP3) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Acara ini diadakan di Auditorium Kasman Singodimedjo FISIP UMJ pada Jum’at sore (14/2/2025), bertajuk ‘Urgensi Revisi UU Pemilu: Penataan Desain Keserentakan Pemilu dan Tata Kelola PenyeIenggaraan Pemilu‘.
Bima menjelaskan Kemendagri tengah melakukan pemetaan terhadap isu-isu strategis dan sensitif. Beberapa isu tersebut meliputi penguatan sistem presidensial hingga keserentakan pemilu.
Penguatan Sistem Presidensial dan Penguatan Kualitas Representasi
Bima menekankan bahwa sistem presidensial harus tetap diperkuat dalam RUU Pemilu yang sedang dikaji. Adapun setiap modifikasi yang tidak sejalan dengan sistem presidensial dianggap bertentangan dengan prinsip yang telah disepakati.
“Kita dalam melakukan proses Revisi UU Pemilu ini, jangan meninggalkan bangunan pondasi sistem politik pemerintahan yang sudah kita bangun sejak rezim Orde Baru runtuh. Apa itu? Pertama, sistem presidensial. Jadi, apapun revisi kita, tidak mungkin bergeser ke parlementer. Tidak mungkin,” jelasnya.
Selain itu, representasi politik juga harus terus diperbaiki agar kedekatan antara anggota legislatif seperti DPR maupun DPRD dan konstituen semakin optimal.
“District Magnitude-nya seperti apa? Besaran dapilnya seperti apa? Apakah proporsional terbuka atau tertutup? Nah, ini ada di sini, teman-teman sekalian,” paparnya.
Bima juga menjelaskan bahwa terkait hal tersebut, partai-partai politik masih memiliki pandangan yang berbeda.
“Masih banyak yang percaya bahwa kita tetap harus seperti ini, terbuka, one man one vote, nomor paling bawah pun bisa terpilih, begitu. Tetapi ada juga partai politik yang percaya bahwa lebih diuntungkan dengan sistem proporsional tertutup dengan nomor urut kembali ke masa lalu. Jadi, belum ada dalam frekuensi yang sama di sini,” terangnya.
Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Konsistensi Konsep Otonomi Daerah
Selanjutnya, Bima menyoroti terkait penyederhanaan sistem kepartaian. Ia mengingatkan bahwa Indonesia pernah mengalami sistem multipartai ekstrem dengan jumlah partai yang terlalu banyak, yang berisiko menghambat stabilitas pemerintahan presidensial.
Menurutnya, situasi saat ini dengan delapan partai di parlemen masih dalam batas yang masuk akal. “Kita semestinya tidak kembali ke sana. Karena nanti presidensial akan bersanding dengan multipartai ekstrem yang mengganggu governability,” paparnya.
Selain itu, RUU Pemilu juga harus tetap sejalan dengan konsep otonomi daerah. Bima menjelaskan pembicaraan terkait otonomi penuh dengan dinamika.
Ia menuturkan, sekarang banyak pihak yang melihat bahwa corak otononmi daerah seakan kembali ke arah resentralisasi. Padahal, otonomi daerah di Indonesia menganut sistem desentralisasi.
“Kita pastikan lagi, ini otonomi daerah kita heavy-nya ke mana? Ini kita masih agak konsisten atau tidak, atau sudah melenceng? Nah, jangan sampai nanti otonomi daerahnya ke mana, revisi undang-undang pemilunya ke mana, agak berbeda. Sistem pemilu, sistem politiknya juga harus nyambung, harus sama,” jelasnya.
Memperkokoh Integrasi Bangsa dalam Bingkai NKRI
Bima menyoroti pentingnya Revisi UU Pemilu dalam memperkuat integrasi nasional. Banyak yang melihat bahwa sistem pemilu yang terlalu terbuka dapat berisiko memperdalam perpecahan sosial dan politik.
Risiko tersebut dapat terjadi, terutama ketika kedewasaan politik di tingkat akar rumput masih belum merata. “Banyak yang melihat di tingkat elit sudah siap berdemokrasi, tapi di tingkat konstituen ataupun voters belum siap,” paparnya.
“Di TV, para elit berdebat dengan panas. Ketika selesai talk show itu, maka bisa ngopi sama-sama, tapi yang nonton malam itu bisa pisah ranjang. Yang nonton bulan depan bisa cerai. Banyak cerita seperti itu. Jadi, kedewasaan berpolitik ini tidak merata di situ. Nah, karena itu, rumusannya betul-betul harus hati-hati,” imbuhnya.
Ada usulan ekstrim untuk menerapkan sistem Pilkada asimetris, di mana daerah-daerah yang dianggap belum siap tidak perlu mengadakan pemilihan langsung. Kesiapan ini diukur berdasarkan indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat literasi politik, dan potensi konflik sosial.
“Tetapi kalau itu dilakukan, maka sejatinya agak mundur juga. Only the have who can vote, gitu. Hanya yang pintar, terdidik, yang kaya, yang siap, yang bisa berdemokrasi,” ujarnya.
Kondisi semacam ini pernah terjadi di masa lalu, seperti di Asia Timur dan Eropa pada abad pertengahan, ketika demokrasi hanya diperuntukkan bagi kaum borjuis dan ningrat. “Apakah kita akan kembali ke sana? Nah, itu harus kita bicarakan, sepakati bersama,” imbuhnya.
Keserentakan Pemilu
Terkait keserentakan pemilu, Bima juga menyatakan bahwa masih terdapat perdebatan mengenai efektivitas pemilu serentak. Beberapa pihak menilai bahwa pemilu serentak terlalu membebani partai politik, sementara yang lain mengusulkan jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal agar agenda politik lebih terstruktur.
“Terlalu dekatnya antara Pilpres dan Pilkada, sehingga konsekuensinya banyak energi partai tersedot habis ke Pilpres. Di Pilkada sudah tidak ada energi lagi. Kemudian, isu-isu juga menjadi bias ketika Pilkada serentak itu muncul,” jelasnya.
Muncul pemikiran untuk tidak lagi membuat secara serentak. Karena di daerah-daerah yang lain, masyarakat cenderung lebih tertarik mengikuti isu-isu Pilkada di Jakarta yang dianggap lebih menarik.
Perludem sendiri mengusulkan agar pemilu dilakukan dengan jeda waktu dua tahun. Dimulai dari pemilu nasional terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh pemilu lokal.
Menganggapi hal ini, Bima menjelaskan bahwa usulan semacam ini berbeda dari semangat keserentakan sebelumnya, yang bertujuan untuk menyelaraskan awal masa pemerintahan di tingkat nasional dan daerah secara bersamaan.
Bima menambahkan bahwa keserentakan pada dasarnya bertujuan agar siklus pemerintahan, termasuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dapat berjalan selaras, sehingga visi dan misi Presiden sejalan dengan visi dan misi kepala daerah, seperti bupati dan wali kota.
“Nah, hari ini itu yang sekarang didorong oleh Kemendagri untuk diselaraskan. Kita menyelaraskan dalam proses RPJMD, pergeseran APBD, perubahan APBD. Tiga hal: Satu, astacita dan semua turunannya. Kedua, visi-misi gubernur, bupati, walikota. Dan, ketiga adalah efisiensi,” jelasnya.
_______
Penulis: Habib Muzaki