MAJELIS Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpandangan bahwa praktik money politic (politik uang) adalah tindakan yang berkaitan sangat erat dengan perilaku koruptif yang bersifat bathil, bahkan laknatullah.
Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan MTT PP Muhammadiyah Dr Ruslan Fariadi AM S.Ag, M.Si, menjelaskan, pihaknya telah mengeluarkan dan membukukan fikih anti korupsi. Yang itu sudah lengkap mencakup segala aspek seputar perilaku koruptif. Diterangkan, secara substansi praktik money politic (politik uang) adalah salah satu varian atau bagian tak terpisahkan dari perilaku korupsi.
“Secara terminologi, korupsi itu adalah penyalahgunaan wewenang, jabatan atau amanah (trust) secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum. Nah, ini tentu berkaitan sangat erat dengan praktik money politic, menyangkut tindakan suap dan gratifikasinya, tindakan manipulatif, dan semacamnya,” terangnya, Rabu (30/8/2023).
Pandangan tersebut disampaikan dalam Pengajian Kapita Selekta Putusan dan Fatwa Tarjih PP Muhammadiyah. Kajian tersebut membahas topik: Politik Uang dalam Pandangan Muhammadiyah.
Ustadz Ruslan lalu menjelaskan, dalam islam terdapat beberapa terma yang berkaitan dengan korupsi, seperti ghulul, risywah, khianat, mukabarah atau ghasab, saraqah, intikhab, hingga aklu sukht, yang kesemuanya itu berlawanan dengan prinsip dasar Islam dalam tatanan sosial.
“Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi prinsip dasar Islam dalam tatanan sosial, yakni amanah, keadilan, amar ma’ruf nahi munkar. Perilaku koruptif tentu saja berlawanan dengan ketiga hal itu, bahwa korupsi itu berarti tidak amanah, tidak adil, dan tidak mencerminkan amar ma’ruf nahi munkar,” jelasnya.
Politik Uang dalam Pandangan Muhammadiyah
Money politic, menurut Ruslan bisa dipadankan dengan istilah suap, sogok, atau dalam terma Islam disebut dengan risywah.
Berdasarkan UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap pasal 2 dan pasal 3, sogok diartikan sebagai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.
Sogok merupakan bagian dari korupsi, yang secara etimologis berarti merusak, tidak jujur, suap, kejahatan, kebusukan, tidak bermoral, kebejatan, penggelapan. buruk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok, penyelewengan (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Ruslan mengatakan, dalam UU No. 8 tahun 2012 Pasal 84 menyebutkan frasa ‘selama masa tenang’. Dia lantas mempertanyakan bagaimana dengan sebelum atau sesudah masa tenang?
Padahal, lanjut dia, pada Pasal 86 ayat (1) poin j dikatakan bahwa pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye Pemilu.
“Itu artinya bahwa secara regulasi kita, masih terbuka celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk perilaku money politic itu, untuk mencari keuntungan atau maksud tertentu,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ruslan menerangkan, baik berdasarkan Fikih Anti Korupsi yang telah dikeluarkan oleh MTT PP Muhammadiyah, maupun manhaj tarjih dan fatwa-fatwa yang sudah ada, sudah jelas bahwa Islam melarang keras politik uang, baik secara bayani, burhani, maupun irfani.
“Islam melarang keras praktik politik uang dan memandangnya sebagai upaya memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar (bathil). Abu Wa’il mengatakan bahwa seorang yang menerima hadiah dari seseorang dengan maksud untuk mengharapkan bantuan berarti orang tersebut telah memakan hasil suap (bathil),” terangnya.
Menyitir Surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Istilah bathil dalam ayat tersebut, menurut Ruslan, termasuk dalam segala hal yang dilarang oleh agama, maka kalau risywah itu dilarang dalam agama, bahkan laknatullah.
“Lalu dalam Surah Al-Maidah ayat 42 disebutkan, ‘samma’una lil kadzibi akkaluna lis suhti’. Nah, kata ‘as-suhti’ diartikan oleh Ibnu Ruslan dengan hasil suap, sedangkan Ibn Mas’ud RA mengartikan dengan memberi hadiah karena mengharapkan bantuan,” ungkapnya.
Menurut dia, secara semantik, laknatullah bisa ditarik dalam beberapa makna, yakni (1) yang paling jauh dari kebenaran, (2) sesuatu yang membuat seseorang itu menjauh dari kebenaran, atau (3) dalam Bahasa Indonesia disebut dengan dikutuk atau terkutuk.
“Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap itu menunjukkan bahwa perilaku suap itu adalah dosa yang besar,” tandas Ruslan.
Dia berharap, agar sebagai sebuah negara yang demokratis maka yang dibutuhkan adalah persaingan ide-ide dan gagasan-gagasan bagi Indonesia ke depan. “Nah kedepannya harus ada ikhtiar-ikhtiar bagaimana agar jangan sampai biaya politik yang sangat besar itu kemudian melahirkan tindakan-tindakan risywah yang dilaknat oleh agama kita,” pungkas Ruslan.(*)
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto