23 C
Malang
Sabtu, November 23, 2024
OpiniMedia Sosial Itu Toksik, atau karena Kita Ikut Menebar Racun?

Media Sosial Itu Toksik, atau karena Kita Ikut Menebar Racun?

Mohammad Ilham, Pemred Maklumat.id.

KETIKA asyik berselancar di media sosial, tidak sengaja melintas sebuah meme yang menggelitik. Tulisannya: Facebook mempertemukan kita dengan teman lama, WhatsApp mempererat jalinan silaturahim, dan Pilpres kembali memisahkan kita.

Alasan itulah yang membuat saya berhenti bermain Facebook, kecuali untuk memanfaatkan marketplace-nya yang serba ada dan murah. Itu pula yang bikin saya menghindari percakapan soal Pilpres di grup WhatsApp. Ya, gara-gara Pilpres. Semoga Pilpres 2024 tidak separah itu.

Saya bukan anti bicara politik. Sama sekali tidak. Saat nongkrong atau ngopi bersama teman, kami akan berbicara itu. Ketika berada dalam forum-forum diskusi, saya juga bersedia mendengar dan terkadang ikut berpendapat. Tapi, di Facebook dan WhatsApp, mohon maaf, mending saya ngopi.

Bukan apa-apa, ketika nongkrong bersama teman, tatkala kita berdebat face to face, kita bisa melihat mimik lawan bicara dan tahu kapan harus disudahi. Di kolom komentar Facebook atau di percakapan grup WhatsApp, semakin panas semakin asyik. Eh, ujung-ujungnya ada yang baper.

Sama sekali saya tidak anti kepada media sosial. Saya aktif di Twitter. Pernah pula berdebat seru dengan akun lain di aplikasi yang sekarang dikuasai Elon Musk tersebut. Bahkan, follower saya kini lebih dari 50 ribu. Ketika luang, saya cukup aktif memposting konten.

Namun, saya memahami. Sebagus dan sesopan apapun itu sebuah konten, ketika sudah di-like lebih dari 1.000 akun, maka akan selalu ada segelintir yang bikin panas hati. Seiring waktu, saya sudah tidak lagi gusar dengan mereka yang memaki saya melalui media sosial.

Tidak jarang, sekali lagi, apabila ada luang, saya membalas mereka yang memaki dengan kalimat andalan saya, ”Terima kasih atas pujiannya.” Atau saat berada dalam perdebatan, terkadang saya balas, ”Ya, kamu benar.” Apabila sedang iseng, saya membalasnya dengan tulisan Y.

Namun, ketika sedang kelebihan tenaga dan waktu, entah karena makan sate klathak atau minum Protecal, saya meladeni perdebatan dari mereka yang meramaikan reply komentar di postingan saya. Kalau di postingan orang lain, saya sih gak peduli.

Hanya, berdebat via media sosial, baik itu Facebook, Twitter, atau WhatsApp itu unfaedah. Tiada guna. Saya lebih tertarik apabila digeser ke warung kopi, atau apabila terhambat jarak, maka bisa pindah ke obrolan di Spaces secara online, Zoom yang terbuka untuk umum, atau live YouTube.

Sayang, jarang banget yang bersedia. Di antara sekian banyak keyboard warrior, sebutan untuk para petarung via kolom komentar di media sosial, hanya satu yang pernah meladeni tantangan debat live via YouTube. Saya respek dengan itu, meski sayang kurang berimbang dialektikanya.

Poin yang ingin saya sampaikan, silakan berdebat, silakan berdialektika, silakan mendukung jagoan kalian, tapi ujungnya tetap jaga silaturahim dan jangan baper. Apalagi sampai dendam. Kecuali apabila salah satu capres terpilih, Anda bisa jadi menteri atau pejabat, maka silakan bertarung. Puputan sekalian.

Apabila capres jagoan kita menang atau kalah tidak ada perubahan kepada kehidupan kita, ya kenapa juga harus berdebat berujung baper lalu saling blok dan tak berkomunikasi lagi. Toh, mereka para elite nantinya berkolaborasi kok. Masak masih perlu nanya buktinya apa?

Tapi, mau bagaimana lagi. Memang fenomenanya begitu. Para medioker dari kelas tengah saling sikut saling injak ketika elite berkolaborasi. Papan bawah saling tikam sembari menanti ada medioker yang tumbang untuk digantikan. Dan, para elite tetap tenang di puncak sembari berpikir besok memakan siapa?

Jadi, ayo kalem saudara-saudaraku. Rileks. Santai. Siapa pun yang menang di antara tiga capres itu, hidup harus tetap berjalan. Rokok tetap perlu mengebul. Kopi harus tetap kental. Beras juga tetap perlu dibeli meski harganya melonjak naik.

Lagipula buat apa terlalu lantang di grup WhatsApp? Paling banter penghuninya 200 anggota. Sudah begitu, hanya belasan yang read. Lebih banyak yang buka grup biar notifikasinya tak lagi nampak. Ibarat berteriak keras di ruang 4×4 meter yang kedap suara. Di luar ruangan, orang lain gak dengar.

Ya, satu pesan bisa berkelana dari satu grup ke grup yang lain, tapi semakin jauh berlalu pergeseran narasinya semakin tak terkendali. Semakin sulit terdeteksi siapa pemilik pertama dari gagasan tersebut, semakin dekat gagasan itu dengan hoaks.

Apabila ingin berteriak lantang dan didengar banyak orang, maka cari ruang yang luas, lapang, dan padat penghuni. Kalau belum ada, maka bangun ruangannya. Kalau butuh panggung, maka bikin panggungnya. Sebab, berteriak keras di ruang sempit itu hanya menghabiskan suara dan tenaga. Juga waktu.

Apabila memang gagasan itu bagus, brilian, luar biasa, mengapa harus disimpan di ruang sempit 4×4 meter yang kedap suara? Ayo sebarkan kepada publik yang lebih luas. Yang bukan teman kita saja. Yang bukan keluarga kita saja. Katanya inklusif.

Ruang yang luas, lapang, dan padat penghuni itu sekarang dikuasai orang lain. Bukan kita. Panggung yang besar dan megah itu, bukan pula milik kita. Sebab, kita sibuk saling teriak dalam ruang sempit 4×4 meter yang kedap suara. Terjebak dengan nyaman di situ.

Terkadang ada yang mengatakan, media sosial itu toksik. Penuh racun. Tiada guna. Kalau perlu dihindari. Dan ketika dihindari, kita malah semakin terkucilkan. Jangan-jangan karena selama ini kita diam saja melihat racun bertebaran di sana. Atau malah ikut menebar racunnya.

Media sosial itu hanya medium. Tak jauh beda dengan televisi, koran, atau radio di masa silam. Hanya alat. Jadi berfaedah atau tidak, ya ditentukan manusia yang mengoperasikan. Maka ayo kita rebut narasi di ruang yang luas, lapang, dan padat penghuni itu. Atau mending kita ngopi. (*)

Mohammad Ilham, Penulis adalah Pemimpin Redaksi Maklumat.id

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer