Soal Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto, Guru Besar Hukum Tata Negara: Hak Presiden

Soal Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto, Guru Besar Hukum Tata Negara: Hak Presiden

MAKLUMAT — Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof Dr Juanda SH MH, menegaskan bahwa pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak konstitusional Presiden, yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat 11 Tahun 1954.

Hal itu ia sampaikan menanggapi langkah Presiden RI Prabowo Subianto, yang memberikan abolisi kepada eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, serta pemberian amnesti bagi 1.116 terpidana, termasuk eks Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

“Abolisi merupakan kebijakan hukum dari Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang terdakwa dengan pertimbangan dan persetujuan DPR,” ujar Juanda dalam keterangan yang diterima Maklumat.id, Ahad (3/8/2025).

“Artinya perbuatannya tetap ada tetapi dihentikan proses penuntutan dengan alasan untuk karena kepentingan negara,” sambungnya.

Sedangkan, kata dia, amnesti adalah kebijakan hukum dari Presiden sebagai kepala negara untuk menghapuskan hukuman pidana terhadap terpidana.

“Amnesti (adalah) kebijakan hukum dari Presiden sebagai kepala negara untuk menghapus hukuman pidana terhadap seorang terpidana. Jadi, amnesti meniadakan hukuman pidana,” kata Juanda.

Hak Konstitusional Presiden

Lebih lanjut, Juanda juga turut menyampaikan pandangannya soal perdebatan publik yang mempertanyakan apakah apakah abolisi kepada Tom Lembong maupun amnesti untuk Hasto Kristianto sudah tepat?

Ia menilai, secara akademis hal tersebut memang bisa diperdebatkan, tergantung perspektif masing-masing.

Meski begitu, ia kembali menegaskan bahwa hal tersebut adalah hak konstitusional dan kewenangan Presiden sebagai kepala negara.

Baca Juga  Prabowo Digugat Karena Tak Copot Mendes Yandri, Pakar HTN: Menteri Itu Hak Prerogatif Presiden

“Bisa saja ada pakar yang mengatakan tepat, tetapi ada juga yang berpendapat tidak. Yang jelas secara subjektif itu hak Presiden dan oleh karena itu pasti ada alasan-alasan hukum dan politik di balik pemberian abolisi atau amnesti tersebut,” sebutnya.

Menurutnya, alasan hukum pemberian abolisi dan amnesti bisa jadi berdasar pada UUD 1945 maupun undang-undang (UU) dan regulasi lain yang berlaku, bahwa Presiden ingin memberikan keadilan kepada yang bersangkutan terdakwa atau terpidana.

Soal Amnesti Hasto

Namun, Juanda juga menyebut bahwa pemberian keadilan ini tidak tunggal atau terlepas dengan persoalan pertimbangan politik praktis.

“Apalagi Hasto adalah masih berstatus sebagai Sekjen PDI Perjuangan (saat itu), tentu bisa dikait-kaitkan dengan status jabatan politik beliau yang sangat strategis sebagai Sekjen PDIP dan kuatnya pengaruh Ketumnya PDIP, yaitu Megawati Soekarnoputri,” sorotnya.

“Bisa jadi Presiden Prabowo mempertimbangkan secara politik pentingnya membangun hubungan yang baik serta mengobati kekecewaan Megawati Soekarnoputri terhadap proses hukum yang terjadi terhadap Hasto, yang sangat penting bagi PDIP dan Ketumnya dalam mengelola PDIP di masa lalu, saat ini dan di masa datang. Faktanya sampai amnesti diberikan dan kongres PDIP di Bali usai, jabatan Sekjen masih dikosongkan. Belum diisinya jabatan sekjen tersebut memberikan sinyal bahwa itu tetap diperuntukkan untuk Hasto,” imbuh Juanda.

Jika demikian, Juanda menilai bahwa kebijakan Prabowo memberikan amnesti untuk Hasto menjadi kurang tepat dan tidak adil. Terlebih, kasus yang menyeret Hasto adalah kasus terkait tindak pidana korupsi.

Baca Juga  Zakat untuk Menangulangi Masalah Kemanusiaan

Ia menilai, seorang terpidana dalam kasus korupsi tidak semestinya mendapatkan amnesti, meskipun sekali lagi, hal tersebut adalah hak Presiden.

“Dapat saja (ada) kecemburuan dengan terpidana yang lain. Apalagi Hasto adalah terpidana soal kasus Korupsi, menurut kacamata hukum saya seharusnya untuk terpidana korupsi amnesti tidak diberikan, walaupun itu hak Presiden,” tandasnya.

Menurut Juanda, esensi amnesti pada dasarnya diperuntukkan bagi para terpidana politik, subversif dengan pertimbangan untuk memulihkan stabilitas politik dalam negeri yang sedang bergejolak, demi keutuhan bangsa dan negara maka amnesti diberikan.

“Sementara Hasto itu bukan terpidana politik, tetapi terpidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat elit politik,” tandasnya.

Soal alasan terkait stabilitas politik, Juanda menilai bahwa saat ini situasi politik dalam negeri dianggap masih cukup stabil dan tidak ada potensi disintegrasi bangsa.

Sebab itu, ia menilai bahwa pemberian amnesti bagi Hasto bakal menimbulkan berbagai penafsiran subjektif dari berbagai pihak.

“Akibat amnesti ini diberikan kepada Hasto terpidana korupsi ini dapat menimbulkan berbagai penafsiran-penafisaran subjektif dari pihak-pihak tertentu,” kata Juanda.

Soal Abolisi Tom Lembong

Sementara itu, terkait pemberian abolisi bagi Tom Lembong, Juanda menilai hal tersebut sebagai kebijakan hukum yang terlambat.

Menurutnya, sedari awal sebelum memasuki tuntutan, Presiden harusnya bisa langsung memberikan abolisi jika melihat dan menilai Tom Lembong layak diberikan.

Meski begitu, ia juga memberikan apresiasi. Menurut Juanda, lebih baik terlambat daripada tidak diberikan sama sekali. Terlebih kasus Tom Lembong memang menuai atensi cukup luas dari publik, memicu kontroversi dalam penegakan hukum di Indonesia.

Baca Juga  Dua Roket Katyusha Hantam Pangkalan Udara AS di Irak, Lukai 5 Tentara

“Jika alasan hukumnya karena perbuatan hukum Tom Lembong saat menjabat menteri tahun 2015-2016 ada manfaat dan keuntungannya untuk negara atau diduga merugikan negara, tetapi alasannya untuk kepentingan negara bisa saja diberikan abolisi, sorotnya.

“Terlalu lama sampai 9 bulan itu baru diberikan. Bahkan sudah diputuskan oleh Pengadilan. Agak terlambat tim hukum Istana memberikan masukan kepada Presiden. Namun demikian, demi keadilan dan tegaknya prinsip negara hukum lebih baik terlambat daripada tidak diberikan,” tambah Juanda.

Soal apakah ada atau tidak intervensi politik, Juanda berpendapat bahwa mau tidak mau suka atau tidak suka dalam setiap pemberian abolisi dan amnesti sulit dihindari dari kata intervensi.

“Sudah pasti itu tindakan hukum Presiden yang memang beraspek politik. Intervensi yang dibenarkan oleh konstitusi dan UU yang berlaku,” selorohnya.

Lebih jauh, Juanda menilai bahwa secara hukum memang tidak ada yang salah apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo dalam hal memberikan abolisi maupun amnesti, karena memang wewenang Presiden dan intervensi itu dibenarkan oleh hukum.

“Tinggal persoalannya apakah alasan alasan yang disampaikan oleh Menteri Hukum memenuhi kreteria dan persyaratan yang dipersyaratkan untuk abolisi dan amnesti dapat diterima dalam perpesktif argumentasi hukum objektif atau tidak, masih menyisakan perdebatan secara akademis dan parktis,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *