TERBITNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 memicu polemik. Sebab, peraturan tersebut membuka akses luas bagi remaja dan pelajar untuk mendapatkan alat kontrasepsi. Hal ini dikhawatirkan mendorong peningkatan perilaku seks bebas.
Organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah, sudah melakukan kajian mendalam terhadap peraturan tersebut dari aspek hukum. Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, Salmah Orbayinah, menjelaskan bahwa kajian dilakukan dari aspek formal dan material. Aspek formal mencakup prosedur hukum dalam pembentukan peraturan, sedangkan aspek material terkait dengan substansi yang diatur dalam PP tersebut.
Salmah menilai bahwa secara formal, PP No. 28 Tahun 2024 ini memiliki jumlah pasal yang terlalu banyak. Hal ini berpotensi membuat PP No. 28 kompleks dan sulit dipahami oleh masyarakat umum yang tidak memiliki latar belakang hukum.
“Ini bertentangan dengan prinsip legal drafting yang mengutamakan kejelasan dan kemudahan pemahaman,” ujar Salmah dalam siaran resminya, Sabtu (17/8/2024).
Aisyiyah menyoroti ketidaksinkronan antara PP No. 28 Tahun 2024 dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang mengatur bahwa hubungan seksual hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sah dan tercatat.
“Pada PP No. 28 Tahun 2024 ini, sepertinya memberi isyarat dibolehkannya perkawinan anak dan secara implisit dapat diinterpretasikan sebagai bentuk legalisasi perilaku seks bebas bagi pelajar,” terang Salmah.
Aisyiyah juga menyoroti minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan PP ini. “Sebagaimana dikeluhkan banyak pihak, uji publik atas RPP Kesehatan sangat minim dan kurang mengakomodir berbagai komponen masyarakat yang berkepentingan,” jelasnya.
Dari segi substansi, ‘Aisyiyah menyoroti beberapa pasal, terutama Pasal 103 dan Pasal 104, yang dinilai problematis. Pada Pasal 103 ayat 4 butir e, pemerintah disebutkan menyediakan pelayanan dan alat kontrasepsi bagi remaja atau pelajar. Hal ini dinilai berpotensi meningkatkan perilaku seks bebas di kalangan pelajar. “Pasal ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan serta meningkatnya perilaku seks bebas di kalangan pelajar,” kata Salmah
PP No. 28 Buka Ruang Multitafsir
Selain itu, Pasal 104 juga dinilai membuka ruang multitafsir, terutama terkait pemberian informasi, edukasi, dan komunikasi (KIE) tentang perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab. Menurut Salmah, ketentuan ini bisa diartikan tidak hanya berlaku untuk pasangan suami istri, tetapi juga untuk pasangan yang tidak terikat pernikahan.
“Dari ketentuan tersebut tidak jelas apakah hubungan seks dilakukan di dalam pernikahan atau di luar pernikahan. Ketentuan ini dapat menimbulkan pemahaman tentang hubungan seksual di luar pernikahan atau melegalkan seks bebas,” ujarnya.
Terkait hasil kajian ini, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, menyampaikan bahwa Aisyiyah akan menyampaikan beberapa usulan perubahan kepada pemerintah.
“Kami akan mengusulkan perubahan terhadap pasal-pasal yang tidak sesuai dan meminta agar segera dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjelaskan pasal-pasal yang krusial dan multitafsir,” ungkap Tri.
Aisyiyah menekankan agar layanan kontrasepsi hanya diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat pernikahan sah dan tercatat di depan pegawai pencatat nikah.
Selain itu, Aisyiyah juga berharap pemerintah melakukan pendidikan kesehatan reproduksi dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat dan dunia pendidikan, untuk memastikan pelayanan kesehatan reproduksi yang sehat dan sejahtera bagi seluruh masyarakat Indonesia.