TANPA diduga, Anies Baswedan bersama Partai Nasdem merapat ke Muhaimin Iskandar dari PKB. Atau bisa jadi sebaliknya Cak Imin, sapaan Muhaimin, bersama PKB merapat ke Anies dan Nasdem.
Pertemuan, kerja sama, dan adanya kesempatan politik di antara mereka adalah bukti bahwa politik adalah strategi seni memenangkan agenda politik masing-masing. Situasi seperti ini sekaligus menggambarkan bahwa politik praktis sangat dinamis, berubah tanpa diduga, cair mengalir tak menentu, yang jelas semuanya didasari kepentingan politik. Semua dapat dilakukan untuk menyelamatkan dan mengamankan kepentingan politik masing-masing.
Bagaimana peluang Anies-Cak Imin? Apakah duet mereka dapat memenangkan Pilpres 2024? Ada banyak catatan yang dapat diuraikan untuk mengukur sejauh mana peluang mereka, di antaranya:
Pertama, duet Anies-Cak Imin meninggalkan jejak politik yang tidak baik bagi PKS dan Demokrat. PKS dan Demokrat merasa dikhianati oleh Anies dan Nasdem. Sebab, sebelumnya Nasdem, PKS, dan Demokrat bersepakat mengusung Anies sebagai capres dan cawapres dari kader Demokrat atau PKS.
Dua bulan terakhir cawapres Anies mengerucut atau tertuju pada ketum Demokrat alias akan memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dan ini bisa diterima oleh PKS dengan beragam pertimbangan. Tapi kini Anies dan Nasdem justru memilih Cak Imin sebagai cawapresnya. Ini membuat PKS dan Demokrat kecewa terhadap Anies-Nasdem.
Kedua, duet Anies-Cak Imin adalah pilihan atau keputusan politik Anies bersama Ketua Umum Nasdem Surya Paloh yang merupakan jawaban atau solusi politik atas untuk menguatkan dan meningkatkan elektabilitas Anies. Jika, Anies memilih AHY, sama saja Anies dan Nasdem mendeklarasikan kekalahannya dalam Pilpres 2024 nanti. Sebab, elektabilitas AHY sangat lemah dan semakin melemah, dalam waktu yang bersamaan elektabilitas Anies juga semakin merosot. Artinya jika Anies diduetkan dengan AHY jelas kalah; tidak menguntungkan bagi Anies dan Nasdem. Jadi, menggandeng Cak Imin sebagai cawapres Anies adalah pilihan rasional yang diambil Anies dan Surya Paloh.
Ketiga, duet Anies dan Cak Imin menimbulkan pertanyaan kenapa Cak Imin bersama PKB pada akhirnya berlabuh pada kubu Anies dan Nasdem, yang selama ini tidak menunjukkan hubungan politik yang kuat di antara mereka? Tentu, jawabanya adalah karena Cak Imin dan PKB merasa tidak mendapatkan peluang menjadi cawapres di kubu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKRI) yang belakang nama koalisi tersebut berubah menjadi Koalisi untuk Indonesia Maju. Bagi Cak Imin dan PKB kerjasama politik harus menguntungkan dan dibangun untuk kepentingan politik partai. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa Cak Imin tidak merapat ke Ganjar dan PDIP?
Keempat, duet Anies-Cak Imin dinilai akan memperkuat, menguatkan, dan meningkatkan elektabilitas Anies yang belakangan melemah. Kenapa demikian? Dengan menggandeng Cak Imin, Anies akan mendapatkan dukungan dari sebagain warga Nahdliyyin. Cak Imin sebagai tokoh NU akan berupaya meyakinkan warga, ulama, kiai, para Gus, dan santri Nahdliyyin bahwa Anies layak didukung. Meskipun Cak Imin sedikit ada masalah di kalangan Nahdliyyin karena masa lalu PKB, namun masalah itu relatif dapat diatasi dengan baik oleh Cak Imin melalui tokoh-tokoh penting NU.
Kelima, duet Anies-Cak Imin menyolidkan warga Muhammadiyah dan NU. Kenapa demikian? Jauh sebelum Anies diusung sebagai capres, sebagian warga Muhammadiyah mengidolakan Anies sebagai sosok pemimpin, cendekiawan, dan tokoh intelektual yang layak menjadi pemimpin nasional, dalam hal ini sebagai Presiden RI.
Warga Muhammadiyah di akar rumput memberi sinyal kuat mendukung Anies di Pilpres 2024, minimal ditandai hasil survei Laboratorium Ilmu Politik UMM yang menunjukkan bahwa pilihan politik warga Muhammadiyah Jatim lebih banyak kepada Anies dibandingkan Prabowo dan Ganjar. Artinya, salah satu basis masa Anies adalah warga Muhammadiyah. Kini Anies menggandeng Cak Imin yang merupakan tokoh NU. Cak Imin adalah salah satu tokoh panutan warga NU. Warga NU adalah basis massa Cak Imin, kekuatan politik yang mendorong Cak Imin maju sebagai capres atau cawapres. Artinya, duet Anies-Cak Imin mempersatukan dua basis masa berbasis ormas, yakni Muhammadiyah dan NU. Ini akan menjadi kekuatan politik untuk memenangkan Pilpres 2024.
Keenam, duet Anies-Cak Amin mengurai kebekuan politik yang dihadapi Anies selama ini, yaitu Anies sangat sulit mencitrakan dirinya bahwa dia adalah politisi yang pro pada isu-isu toleransi, pluralisme, dan demokrasi karena sebelumnya Anies dikenal sebagai politisi yang dekat dengan kelompok-kelompok Islam garis kanan, tokoh politik identitas, dan non-pribumi. Dengan menggandeng Cak Imin yang merupakan politisi partai pembela pluralisme dan demokrasi, maka labeling Anies yang tidak menguntungkan secara politik itu dapat diminimalisir dan diantisipasi, sehingga Anies dapat dengan mudah mencitrakan diri bahwa dia adalah politisi yang berpihak pada isu-isu toleransi, pluralisme, dan demokrasi.
Ketujuh, peluang Anies-Cak Imin semakin besar peluang memenangkan Pilpres 2024, jika pasangan duet ini mampu: meyakinkan dan menyolidkan elite-elite NU untuk mendukung duet ini. Dalam hal ini, Cak Imin harus berupaya keras agar tokoh tokoh NU yang berpengaruh lainnya seperti Khofifah Indar Parawansa, Yahya Cholil Staquf, dan Said Aqil Siradj turun tangan mendukung dirinya sebagai cawapres Anies. Dikhawatirkan tokoh-tokoh tersebut menjadi cawapres atau mendukung Prabowo atau Ganjar. Jika ini terjadi, maka sulit bagi Anies-Cak Imin menyolidkan basis masa NU. Karena tradisi politik NU, soliditas elite menentukan soliditas warga NU pada akar rumput. Artinya, jika Cak Imin mampu membangun soliditas elite, maka Cak Imin pun akan mampu mendapatkan dukungan para kiai, para Gus, santri, dan warga NU umumnya. (*)
Dr. Salahudin, S.IP., M.Si., Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang