30.2 C
Malang
Minggu, Mei 19, 2024
KilasHindari Polarisasi Politik Identitas pada Pemilu 2024

Hindari Polarisasi Politik Identitas pada Pemilu 2024

Pimpinan Pusat Muhammadiyah ketika kunjungan balasan ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kamis (25/5/2023).

PIMPINAN Pusat (PP) Muhammadiyah melakukan kunjungan balasan ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jl. Keramat Raya, No. 164, Jakarta Pusat pada, Kamis (25/5). Kedatangan PP Muhammadiyah ke Kantor PBNU merupakan kunjungan balasan pasca Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta pada 2022.

Kunjungan tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Selain itu juga ada Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, Saad Ibrahim, Agus Taufiqurrahman beserta Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti dan Izzul Muslimin.

Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa Gus Yahya berharap, visi tentang agenda untuk bangsa serta komitmen untuk menjalankan kompetisi secara lebih bermoral. Selain itu, perlu juga diangkat tentang kepemimpinan moral jelang Pemilu 2024. Karena dalam politik perlu ada pimpinan moral agar segala sesuatunya tidak untuk kepentingan pragmatis

”Emang kita butuh mendengar lebih banyak tentang visi, tentang agenda-agenda untuk bangsa dan negara dan juga tentang komitmen untuk melakukan menjalankan kompetisi secara lebih bermoral lebih bersih. Tidak meriskir polarisasi atau perpecahan di dalam masyarakat dan seterusnya,” ucapnya.

Menurut dia, polarisasi dalam kontes politik yang mengarah pada politik identitas dapat membahayakan. Politik identitas dapat mendorong terjadinya perpecahan dalam masyarakat.

”Kami memandang bahwa politik identitas ini, politik yang mengedepankan identitas kelompok-kelompok primordial ini berbahaya bagi integritas masyarakat secara keseluruhan karena itu akan mendorong perpecahan di dalam masyarakat,” tuturnya.

Gus Yahya mengatakan, dirinya tak ingin jika sampai ada politik berdasarkan identitas Islam apalagi identitas NU. Dia juga tak ingin jika nanti sampai ada kompetitor kampanye yang mengatasnamakan NU.

”Maka saya sendiri misalnya saya sering katakan bahwa kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU, jadi kami tidak mau nanti ada kompetitor kampanye ‘Pilih orang NU!’ misalnya kita ndak mau itu. Kalau mau bertarung ya harus dengan tawaran-tawaran yang rasional ini yang kami harapkan,” paparnya.

Sementara, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan dalam kontestasi politik kerap mengarah pada polarisasi. ”Ada dua tren yang kita lihat, pertama konsesi-konsesi politik lewat usaha-usaha koalisi itu bagus. Kemudian yang kedua bagus dalam arti itu bagian dari politik, kedua pernyataan-pernyataan yang kompetitif tetapi bisa mengarah pada polarisasi itu juga biasa terjadi. Tetapi ketika dua hal itu terus intens menjadi state of mind kontestasi para elite politik ini bisa apa tidak konstruktif gitu ya,” katanya.

Haedar memandang, antara Muhammadiyah dengan NU ini bagaikan dua sayap yang menerbangkan keislaman dan ke-Indonesiaan. Sebab, alih-alih perbedaan yang tajam justru antara Muhammadiyah dengan NU ditemukan begitu banyak kesamaan.

”Kita ini di bolak-balik ya Islam. Maka dari itu kita terus mengelorakan Islam yg damai, mencerahkan dan memajukan,” terang Haedar.

Haedar mendorong visi kebangsaan yang sudah diletakkan para pendiri negara harus dielaborasi. Menurutnya, hal itu perlu dibawa ke ruang publik untuk menjadi diskusi antar para kontestan atau calon kontestan.

”Politik identitas itu kan tadi disebut Gus Yahya primordial ya, primordial itu agama, suku, ras, golongan yang dulu sering kita sebut SARA, dan karena menyandarkan lalu sering terjadi politisasi sentimen-sentimen atas nama agama suku ras golongan yang kemudian akhirnya membawa pada polarisasi bukan hanya secara inklusif bahkan di tubuh setiap komunitas, golongan itu bisa terjadi fiksi seperti yang disampaikan Gus Yahya. Saya pikir kita semua clear untuk mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif yang rasional yang ada di dalam koridor demokrasi modern,” ucapnya. (*)

Reporter: Ubay

Editor: Aan Hariyanto

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer