KETUA MPR RI Bambang Soesatyo menilai sistem demokrasi dengan model pemilihan langsung perlu dikaji ulang. Sebab, sistem tersebut mendorong adanya demokrasi yang bersifat transaksional di tengah Masyarakat, jika itu berkaca pada pemilihan umum (Pemilu) 2009 hingga Pemilu 2024.
Menurut pria yang akrab disapa Bamsoet itu, maraknya politik transaksional mengikis idealisme dan komitmen politik sebagai sarana perjuangan mewujudkan aspirasi rakyat. Model demokrasi transaksional tidak menjadikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi.
“Masyarakat tidak segan untuk meminta uang secara langsung kepada calon anggota legislatif (Caleg). Para Caleg pun secara terang-terangan tidak ‘malu’ memberikan uang kepada masyarakat untuk memilih dirinya,” kata Bamsoet seperti dikutip dari Antara, Kamis (28/3/2024).
Bamsoet mengungkapkan, demokrasi transaksional pada Pemilu 2024 semakin masif dan terbuka dibandingkan tiga pemilu sebelumnya. Sehingga, banyak calon legislatif (caleg) yang memiliki kualitas dan kapabilitas sebagai anggota dewan harus tersingkir.
“Karena maraknya politik transaksional di Masyarakat, persaingan para caleg justru lebih didominasi oleh kekuatan finansial. Sehingga visi, misi, program kerja terkalahkan oleh ‘serangan fajar’ menjelang pencoblosan,” ungkapnya.
Politisi partai Golkar itu memaparkan, ada sebagian masyarakat yang lebih mengutamakan berapa besar uang yang diterima dari para caleg. Bahkan, tidak jarang ada satu pemilih yang menerima ‘serangan fajar’ dari dua hingga tiga caleg sekaligus.
“Istilah nomer piro wani piro (NPWP) menjadi hal biasa di tengah masyarakat. Pemilih tidak lagi mengutamakan kualitas dan kapabilitas para caleg,” jelasnya.
Bamsoet menyebut, bukan tidak mungkin jika sistem demokrasi langsung dalam hajatan Pemilu ataupun Pilkada terus dipertahankan, maka demokrasi di Indonesia hanya bergantung pada nominal rupiah. Bukan lagi memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain itu, sistem yang dianut oleh bangsa Indonesia itu sangat berpotensi menggiring orang untuk terjerat dalam tindak korupsi. Hal itu sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencatat sistem demokrasi langsung memiliki daya rusak yang luar biasa.
“Tidak aneh bila banyak kepala daerah ataupun anggota dewan yang tersangkut kasus korupsi, karena saat pemilihan mereka mengeluarkan biaya yang sangat tinggi,” tandasnya.
Sumber: Antara
Editor: Aan Hariyanto