Mahasiswa UINSA Gugat Kata Fraksi di UU MD3, Nilai Aspirasi Rakyat Direduksi Hegemoni Elite Partai

Mahasiswa UINSA Gugat Kata Fraksi di UU MD3, Nilai Aspirasi Rakyat Direduksi Hegemoni Elite Partai

MAKLUMAT — Dua mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya mengajukan permohonan uji materi Pasal 170 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya adalah Dian Prahara Batubara dan Moch. Jian Niam Al Kamil, mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 159/PUU-XXII/2025 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (18/9/2025), para pemohon menilai keberadaan kata “fraksi” dalam pasal tersebut tidak mencerminkan DPR sebagai representasi rakyat secara langsung yang sudah semestinya dibawa oleh anggota saat berstatus sebagai bakal calon hingga menjadi anggota resmi DPR.

“Norma yang mengharuskan penyampaian pandangan melalui fraksi ini secara substantif mengaburkan makna tersebut, menjadikan aspirasi daerah tidak tersampaikan secara utuh karena harus melalui filter politik fraksi yang bersifat politik,” ujar Dian Prahara Batubara, dikutip dari laman resmi MK.

Para pemohon menegaskan, dalam negara demokrasi berbasis konstitusi, kekuasaan semestinya berasal dari rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat sebagaimana dijamin Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Namun, Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 yang berbunyi “Pandangan DPR dalam pembahasan suatu rancangan undang-undang di tingkat pertama diberikan melalui fraksi” justru mengalihkan kekuasaan legislasi dari wakil rakyat yang dipilih konstituen kepada partai politik melalui fraksi.

Baca Juga  Bawaslu: Belum Ada Pelanggaran yang Bisa Membatalkan Hasil Pemilu

Mereka berpendapat, penggunaan kata “fraksi” menghambat pertumbuhan daerah karena kebijakan yang dihasilkan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan lokal. Jika sistemnya diganti menjadi pendapat berdasarkan daerah pemilihan (dapil), dinamika penyusunan regulasi bisa lebih sesuai dengan persoalan nyata di lapangan.

Para pemohon memandang hal ini sebagai bentuk praktik hegemoni, di mana partai politik menguasai ruang ide dan kebijakan publik melalui instrumen fraksi. Hegemoni tersebut berlangsung legal secara hukum, tetapi pada praktiknya menafikan prinsip kedaulatan rakyat.

Menurut mereka, peralihan otoritas dari anggota DPR kepada fraksi merupakan bentuk dominasi ideologis yang bersifat struktural dan sistemik. Situasi ini berpotensi menghambat prinsip demokrasi partisipatif yang menjadi fondasi ketatanegaraan Indonesia.

Para pemohon menilai, sistem fraksi juga menimbulkan kerugian konstitusional karena sikap partai dan anggota DPR menjadi kabur. Publik tidak bisa menilai konsistensi dan tanggung jawab wakil rakyat secara moral maupun politik, sebab suara yang muncul adalah suara kolektif fraksi, bukan representasi langsung masyarakat dari daerah pemilihan.

Lebih jauh, penggunaan pandangan fraksi berisiko membuat rumusan undang-undang tidak sejalan dengan masalah lokalitas. Padahal, anggota DPR sebagai representasi rakyat dari suatu daerah seharusnya memahami dan memperjuangkan persoalan daerahnya. Karena itu, menurut para pemohon, kata “fraksi” perlu diganti dengan “daerah pemilihan” agar pemilih juga terdidik untuk menilai kapabilitas calon legislatif berdasarkan pemahaman mereka terhadap daerahnya.

Baca Juga  AI dalam Dunia Pendidikan: Peluang Inovasi atau Ancaman?

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Mereka juga meminta Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “pendapat daerah pemilihan”. Permintaan itu sekaligus ditujukan agar DPR dan lembaga terkait menyesuaikan struktur internal serta tata kerja komisi maupun alat kelengkapan lainnya dengan prinsip keterwakilan daerah pemilihan.

Sidang ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Dalam sesi nasihat, Arsul mengingatkan bahwa kata “fraksi” tidak hanya terdapat dalam satu pasal yang diuji para pemohon, melainkan tersebar di banyak pasal UU MD3.

“Yang namanya tugas konstitusional atau fungsi konstitusional DPR itu ada apa saja selain undang-undang, fungsi dua yang lain apa, kalau kemudian di fungsi penganggaran itu juga ada kata fraksi juga, kalau yang hanya diganti ini kacau enggak undang-undangnyanya, kan yang namanya fungsi anggaran itu kan juga menyampaikan aspirasi rakyat juga kalau ada usulan dari anggaran dari daerah, fungsi pengawasan juga begitu, itu harus dipikirkan kembali,” jelas Arsul.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan itu harus diterima Mahkamah paling lambat pada 1 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.

Baca Juga  Pemprov Jatim Diminta Bentuk Badan Khusus Tangani Aset Bernilai Ekonomi Tinggi
*) Penulis: M Habib Muzaki / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *