28.7 C
Malang
Sabtu, November 23, 2024
OpiniPemilu 2024: Koalisi Kepentingan Para Elite Partai

Pemilu 2024: Koalisi Kepentingan Para Elite Partai

Baikuni Alshafa, Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik.

TAHUN politik. Perbincangan soal calon presiden dan wakil presiden bukan lagi hangat, melainkan belakangan semakin memanas. Berbagai media massa ataupun media sosial dibombardir dengan kabar tentang isu tersebut. Para politisi juga intens melakukan safari politik, sekaligus mulai memanaskan mesin politik untuk merangkai gerbong koalisi menuju kontestasi Pemilu 2024.

Isyarat dan simpul-simpul politik sudah menunjukkan pengelompokan sebagai sesuatu sikap koalisi. Bisa sangat mudah kita searching (mencari) di handphone masing-masing, untuk memantau dan mentracking semua para calon dengan beragam sumber survei di media elektronik atau media sosial.

Misalnya saja, ada Ganjar Pranowo baru di penghujung bulan Ramadhan (H-1 lebaran) ditetapkan PDIP sebagai calon presiden. Kemudian disusul PPP memberikan dukungan. Sebelumnya, Anies Baswedan sudah ditetapkan Partai Nasdem, Demokrat dan PKS sebagai kandidat yang diusung menuju kursi RI-1.

Selain mereka berdua, ada Prabowo Subianto yang juga digadang-gadang sebagai calon presiden, meski belum ada pengumuman secara resmi dari partai pengusung ataupun koalisinya. Sejauh ini, Gerindra cukup intens dengan PKB yang mengusung Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden.

Entah apa yang ditunggu Prabowo hingga saat ini belum menyatakan sikap resmi. Bisa jadi masih meracik strategi dengan Cak Imin yang sedari awal membangun bargaining sebagai calon presiden pula. Atau mungkin, masih menghitung betul-betul jika tetap akan terus bertarung, karena tahun politik kali ini adalah bisa jadi momen terahir dia sebagai calon presiden, di mana garis tangannya belum juga menentukan dia menjadi pucuk pemimpin di Republik Indonesia.

Adapun Golkar, sepertinya masih memainkan kegenitan politiknya ke partai-partai lain, setelah sudah ditinggalkan PPP dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), dan sepertinya juga akan ditinggalkan PAN menyusul PPP yang bergabung dengan PDIP yang sudah jelas mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon Presiden.

Tentu partai politik yang lain serupa sudah melakukan sebelumnya, dengan cara membentuk sekretariat bersama, yaitu Gerindra dan PKB. Lalu, PAN, PPP dan Golkar yang sudah lebih awal membentuk KIB.

Sekalipun belakangan ini PPP sudah jelas-jelas bergabung dengan PDIP. Kita tunggu saja partai politik mana lagi yang akan menyusul PPP, begitulah politik tidak ada yang pasti, karena yang pasti hanyalah kepentingan, melalui partai, dan atau pemodal, Wallahuwa’lam.

Politik Partai dan Koalisi Kepentingan

Berbicara politik koalisi sejatinya sangat beragam, orang beranggapan koalisi partai politik ada yang terbentuk karena faktor kesamaan ideologi. Namun, tidak menutup kemungkinan banyak partai politik koalisi terbentuk tidak lepas dari kepentingan dan kekuasaan, tentu dalam sistem pemerintahan yang akan dibentuk di kemudian hari.

Dari gambaran tersebut, masyarakat harus teliti, memandang sejauh mana pergerakan dari partai politik untuk merepresentasikan kelompok masyarakat secara menyeluruh.

Sedangkan dalam literatur mengenai partai politik, koalisi seringkali memunculkan dua asumsi, pertama bagi seorang politisi dalam kebijakan partai saling tertutup dalam menentukan kandidat calon Presiden. Masih ingat kan Prof Mahfud MD dalam hitungan beberapa jam diganti sebagai calon wakil presiden 2019 lalu.

Yang kedua, di mana dukungan terhadap tokoh politik berasal dari multi kepentingan yang konsisten dan politis, di mana tujuan dan strategi tidak lepas dari motivasi untuk mendapatkan jabatan dan kebijakan yang akan ditargetkan di kemudian hari. Hal itu banyak kita temukan pada watak politisi Indonesia saat ini, di mana penghambaan terhadap kepentingan kekuasaan, semata-mata menjadi tujuan akhir. Peter Schroder (2009) dalam teorinya sudah menjelaskan soal strategi dan komunikasi politik semacam itu.

Seakan diperjelas bahwa dalam strategi politik tidak lepas dari kepentingan jabatan kekuasaan, bisa kita mengutip saat RDP (Rapat Dengar Pendapat) para politisi Senayan, saat salah satu ketua fraksi di DPR RI mengatakan kalau mereka hanya petugas partai. Apabila bos tidak berkehendak, maka target politik tersebut tidak akan pernah terjadi. Sebab, sang bos tidak berkehendak, begitulah tontonan yang tempo lalu saat Rapat Dengar Pendapat DPR RI soal usulan pembentukan pansus dan undang-undang perampasan aset yang tidak disetujui. Tapi, mau bagaimana lagi, kan rakyat sudah diwakili semua kepentinganya oleh partai.

Patronase dan Klientelisme Politik

Bicara tentang patronase dan klientelisme, maka sering menekankan bagaimana kehadiran klientelisme menjelma sebuah material sebagai tujuan politik. Klientelisme sendiri menginduksi preferensi yang lebih kuat untuk kepentingan pribadi dan keberhasilan pribadi tentu akan sangat bergantung kepada pemegang kendali partai politik. Klientelisme memaksa seseorang memilih karena faktor imbalan tertentu yang menguntungkan, tidak melihat sejauh mana kualitas gagasan dan kemajuan ummat bagi para calon yang mengikuti kontestasi politik.

Dari gambaran itu sangat mungkin partai politik bertindak sebagai pelindung dan masyarakat sebagai klien yang dilindungi (semata-mata hanya diklaim sesaat atau klien pemilih). Di satu sisi, di mana seorang politisi memiliki insentif kemampuan dan kekususan dalam menentukan arah kebijakan saat kelak memegang kekuasaan. Sebab, kekuasaan politik menyediakan akses ke sumber daya atau suprastruktur politik, seperti penunjukan jabatan politik kementerian atau lembaga, penyusunan undang-undang, peraturan negara serta implementasi kebijakan. Hal itu bisa kita rasakan saat pemerintahan yang berjalan sekarang, di mana legislatif dan eksekutif begitu mesra dalam menentukan keputusan politik menjadi sebuah kebijakan pemerintah. Sebab, koalisi tersebut tidak lepas dari pengaruh klientelisme dalam politik.

Durasi perundingan partai koalisi tidak terlepas dari pengaruh klientelisme, jika klientelisme dikatakan penting, maka tawar-menawar adalah bagian terpenting dalam klientelisme, sebagai pertaruhan sikap para elite partai politik. Dari gambaran tersebut, ketika kita sadar atas situasi dan perjalan rangkain politik menuju koalisi ke depan, maka dalam penentuan calon kandidat presiden dan wakil presiden, akan cukup mudah kita membaca peta politik menuju koalisi partai menjelang pemilu 2024. Paling tidak pada tanggal 19 Agustus 2023 nanti.

Dalam koalisi, siapa yang memberikan keuntungan lebih besar akan menentukan hingga kelak di tingkat kabinet pemerintah. Dan para ketua partai akan membaca, mana kiranya yang lebih menguntungkan koalisi. Politik “Wani Piro” menjadi anekdot bahwa segala sesuatu ada imbalannya, baik jabatan ataupun hal-hal lain yang menguntungkan bagi para politisi ataupun partai politik. Wallahuwa’lam, mari kita tunggu jam tayang berikutnya, hasil Koalisi Partai Politik dalam mengusung Capres dan Cawapres pemilu 2024. (*)

Baikuni Alshafa, Penulis adalah Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer