PERNYATAAN terbuka Presiden Jokowi untuk cawe-cawe dalam Pemilu 2024, disebut Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas sebagai sebuah simbol deviasi demokrasi dan semakin carut-marutnya negara.
Hal itu diungkapkan Busyro saat menjadi keynote speaker di Rapat Kerja (Raker) Majelis Hukum dan HAM – Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (MHH – LBHAP) PWM Jatim, Kamis (1/6/2023) di Hotel Sheraton Surabaya.
”Negara ini semakin carut-marut, disimbolisasi oleh cawe-cawe Jokowi itu tadi. Itu kan simbol deviasi demokrasi, moral demokrasi. Eksekutif cawe-cawe urusan begitu, kan nggak boleh. Itu harus kita advokasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Busyro menyebut bahwa dua unit advokasi milik Muhammadiyah (MHH dan LBHAP) juga bertanggungjawab untuk mengadvokasi negara sebagai suprastruktur dan masyarakat sebagai infrastruktur. Sebab, menurutnya birokrasi negara harus segera ditolong dari penyakit-penyakit yang demikian dan Muhammadiyah sebagai mitra kritis-konstruktif harus hadir untuk itu.
“Jadi atas dasar itu, Muhammadiyah tentu saja harus mengadvokasi negara ini,” katanya.
Tak hanya itu, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu juga menyampaikan, bahwa Muhammadiyah melalui MHH dan LBHAP harus selalu untuk mengadvokasi permasalahan di masyarakat, contohnya pada kasus kriminalisasi tiga petani Pakel, Banyuwangi yang ditahan Polda Jatim.
”Kami dari PP Muhammadiyah sudah datang langsung ke Polda Jatim dan menjaminkan diri, supaya kepolisian membebaskan tiga petani itu, dengan garansi bahwa mereka tidak akan kabur,” ungkapnya.
Menurut Busyro, kedaulatan tertinggi sebuah negara demokrasi ada pada rakyatnya, sebab itu negara dan para penguasanya, para pemangku kebijakannya tentu harus berpihak kepada rakyat.
“Negara dan masyarakat itu harus dikembalikan pada konsep yang seharusnya. Negara itu tidak akan ada kalau gak ada rakyat. Maka, rakyatlah satu-satunya yang disebut berkedaulatan,” jelasnya. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto