PENDIDIKAN di Indonesia sebetulnya belum baik-baik saja setelah pandemic COVID-19. Di Kota Malang, misalnya, yang memiliki lebih dari 50 perguruan tinggi swasta, angka putus sekolahnya di atas 10 ribu. Adapun angka putus sekolah paling banyak justru ada di ibu kota provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya.
Data itu diungkap Prof Dr Djoko Saryono MPd, guru besar Universitas Negeri Malang (UM), saat menjadi narasumber Refleksi Akhir Tahun: Pendidikan dalam Lanskap Politik 2024 yang diadakan Fokal IMM Raushan Fikr di Kampung Mahasiswa, Dau, Kabupaten Malang (29/12/2023).
Menurut Prof Djoko, hal-hal elementer seperti pendidikan yang seharusnya dinikmati warga bangsa nyatanya belum bisa terpenuhi. Belum lagi adanya ketimpangan digital setelah gencarnya digitalisasi.
Nah, kalau bicara lanskap politik 2024, kata Prof Djoko, taruhannya ada pada pendidikan itu sendiri. Menurut dia, soal pendidikan, setiap daerah itu bisa berbeda-beda karena adanya otonomi daerah. Kepentingan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota mungkin juga berbeda.
“Meskipun sepintas tampak rukun, apa yang disebut faksionalisme dinamis alias tarik-menarik itu pasti akan terjadi,” tuturnya.
Akan tetapi, bagi Prof Djoko, menariknya pendidikan di Indonesia justru dengan adanya paradoks-paradoks itu. Misalnya, antara pendidikan nasional dan daerah. Atau, antara pendidikan di Jawa dan di luar Jawa variasinya berbeda-beda.
Selain itu, antara hasrat untuk meningkatkan kualitas yang terlalu tinggi dengan efektivitas pendidikan tersebut juga tidak serasi. “Misalnya, kita ingin peningkatan kualitas pendidikan dengan efisiensi waktu, biaya, dan seterusnya, tapi pemerintah kemudian malah memangkasnya,” ujarnya.
Karena itu, dia mengkritik bahwa kini kualitas pendidikan terkadang ditentukan oleh persepsi dan durasi. Misalnya, lulus kuliah cepat dianggap lebih baik.
“Apakah ini tidak menyesatkan ketika berhadapan dengan banyak hal. Sehingga proses pendidikan kita tidak hanya ugal-ugalan, tapi juga terburu-buru atau tergesa-gesa,” tegasnya.
Karena itu, Prof Djoko berharap kita semua harus meredefinisi atau mendefinisikan ulang apa itu kualitas pendidikan. “Apakah yang cepat itu pasti berkualitas?” kata profesor yang giat mendampingi para pelaku literasi tersebut retoris.
Adapun terkait jumlah guru, Prof Djoko mengungkapkan fakta menarik bahwa sebetulnya Indonesia ini surplus sarjana pendidikan. Bahkan hingga dua kali lipat dari kebutuhan. Sayangnya, kebutuhan itu belum tentu bisa diakomodasi oleh kebijakan.
Bagi Prof Djoko, sumber daya manusia itu sangat penting, terutama di dunia pendidikan. Prof Djoko juga menegaskan bahwa tidak ada manusia yang siap pakai. “Yang ada manusia siap berlatih dan siap beradaptasi,” tegasnya.
Sementara itu, Subhan Setowara, narasumber kedua, menambahkan, refleksi di dunia pendidikan kini menjadi semakin mahal. “Misalnya, saya sebagai seorang dosen. Maka, ruang untuk refleksi semakin sedikit karena tuntutannya mengejar target yang sifatnya administratif,” ujar dosen Hubungan Internasional UMM itu.
Termasuk soal riset. Semakin banyak meriset, maka semakin bagus. Jadi, riset yang dilakukan dalam waktu yang lama kini dianggap tidak bagus.
Lantas, apakah dunia pendidikan bisa melahirkan seorang ilmuwan atau intelektual yang reflektif dan kritis. Subhan justru menyebut bahwa kalau ingin menjadi intelektual yang sebenar-benarnya, justru lahirnya bisa dari luar kampus.
Subhan juga mengamini apa yang disampaikan Prof Djoko soal gerak cepat dunia pendidikan. Memang, kata dia, cepat itu baik. “Tapi, apakah kecepatan itu bisa diterapkan di dunia akademik. Karena yang namanya refleksi itu apakah harus cepat. Padahal refleksi adalah merenung untuk mencari terobosan penting,” ujar direktur RBC Institute A. Malik Fadjar itu.
Berikutnya, Subhan menyebut pendisikan adalah investasi. Karena itu, ketika terjadi konflik atau bencana di sebuah negara, yang diselamatkan dulu adalah guru dan anak-anak. Misalnya, Jepang. “Karena (pendidikan, Red) dianggap investasi masa depan,” tegasnya.
Di sisi lain, Ketua Fokal IMM Raushan Fikr Achmad San menyampaikan, pihaknya merasa perlu untuk menggaungkan isu pendidikan dalam peta politik tahun depan. Bagaimana ketiga capres, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, bersama pasangan masing-masing mengurai persoalan pendidikan yang tentu tidak akan pernah selesai seiring dengan perkembangan zaman.
“Pasalnya, pendidikan menjadi salah satu fondasi agar sumber daya manusia Indonesia semakin hari semakin meningkat,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Achmad, rasanya belum banyak yang mengangkat diskusi secara detail terkait dengan isu pendidikan dalam lanskap politik 2024. Khususnya yang diangkat para capres dan cawapres.
Jika dilihat dari visi-misi para capres-cawapres, memang tidak disebutkan secara khusus atau tersurat isu pendidikan tersebut. Paling banter pada tataran pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia.
Akan tetapi, CNBC Indonesia pada 26 Oktober 2023 pernah melansir sejumlah program pendidikan yang menjadi fokus para capres-cawapres. Pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, ingin menciptakan akses pendidikan yang berkeadilan. Di antaranya, memastikan siswa lulusan SD atau sederajat dapat melanjutkan pendidikan hingga SMA atau sederajat dengan meningkatkan daya tampung di sekolah negeri maupun melibatkan sekolah swasta.
Kemudian, mempercepat pelaksanaan wajib belajar 1-12 tahun dari PAUD hingga SMA. Juga menekan angka anak putus sekolah dengan menyediakan bantuan pendidikan bagi yang membutuhkan dan menangani faktor-faktor lain yang berkontribusi pada terjadinya putus sekolah. Selain itu, kualitas dan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan turut diperhatikan.
Sementara itu, paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, ingin membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi di setiap kabupaten/kota serta memperbaiki sekolah yang perlu direnovasi.
Ada pula program menaikkan gaji ASN guru dan dosen. Terakhir, penguatan pendidikan, sains, tekonologi, dan digitalisasi.
Pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD fokus pada sejumlah isu. Di antaranya, wajib belajar 12 tahun gratis. Kemudian, satu keluarga miskin satu sarjana. Guru dan dosen sejahtera, berkualitas, dan kompeten. Terakhir, integrasi pendidikan dan pelatihan vokasi.
“Patut ditunggu ketiga pasangan akan menerjemahkan rencana tersebut secara teknis dalam debat kelima nanti,” tandasnya. (*)
Kontributor: Achmad San
Editor: Mohammad Ilham