REPUBLIK Indonesia memperingati hari kemerdekaan ke-78 tahun pada 17 Agustus 2023 lalu. Sejarah kemerdekaan itu pada hakikatnya juga adalah sejarah Muhammadiyah sebagaimana dikatakan oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Lebanon, Hajriyanto Y Thohari.
Melihat betapa besarnya peran dan andil tokoh-tokoh Muhammadiyah saat itu, baik sebelum dan menjelang kemerdekaan, ketika kemerdekaan, maupun setelah kemerdekaan, maka bukan hal yang berlebihan jika Hajriyanto menyebut demikian.
”Memang orang tidak bisa mengingkari bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia itu pada hakikatnya adalah sejarah muhammadiyah,” ujarnya di kanal tvMu dalam tajuk Darul Ahdi Wa Syahadah dan Kemerdekaan Indonesia, yang diunggah Jumat (18/8/2023) lalu.
Sejarah dan Peneguhan Identitas Muhammadiyah
Hajriyanto menyebut, banyak catatan kiprah tokoh Muhammadiyah di sekitar peristiwa kemerdekaan. “Di antaranya ada Ki Bagus Hadikusumo, ada Kahar Mudzakkir, ada Nyonya Sunaryo, ada Tengku Muhammad Hasan, Kasman Singodimedjo, dan lain sebagainya, termasuk Bung Karno sebagai sosok yang sentral,” papar mantan Wakil Ketua MPR RI itu.
Dia meminta agar warga Muhammadiyah tidak melupakan jejak-jejak kiprah dan perjalanan persyarikatan, terlebih di masa lalu sebagai peneguhan terhadap identitas Muhammadiyah. Dia mencontohkan pada sejarah Amerika Serikat.
“Ketika Amerika Serikat setelah dua ratus tahun setelah kemerdekaannya mencari identitasnya sebagai bangsa, ketemulah mereka dengan khutbah John Winsthrop berjudul ‘A City Upon A Hill’ di Kapal Arbella tahun 1630-an, yang membawa mereka bermigrasi dari Eropa ke Amerika untuk mendiami benua baru itu, mengikuti apa yang disampaikan dengan khutbah di atas bukit yang disampaikan Yesus Kristus,” kisahnya.
Jadi, Hajriyanto melanjutkan, John Winsthrop dan orang-orang rombongan awal itu adalah orang-orang Kristen puritan dari Eropa Barat yang sangat saleh dan agamis.
“Maka ketemulah identitas Amerika sebagai WASP (White Anglo-Saxon Protestant), yang lalu memudar ketika munculnya diskursus seputar feminisme, lalu hadirnya kelompok kulit hitam, dan sebagainya. Sampai setelah Barack Obama turun, kemudian Donald Trump kembali menggaungkan peneguhan identitas WASP itu, lewat jargon make america great again,” paparnya.
Hajriyanto menyebut, pentingnya menggali identitas itulah maka setiap warga Muhammadiyah, terlebih para pimpinan persyarikatan harus memahami sejarah, perjalanan dan kiprah dari Muhammadiyah.
Dia meminta warga Muhammadiyah untuk membaca buku ‘Derita Seorang Pemimpin’ karya Djarnawi Hadikusumo, putra dari Ki Bagus Hadikusumo. Menurut Hajriyanto, buku tersebut menjadi salah satu rujukan yang bagus ketika membicarakan sejarah Muhammadiyah dalam etape kebangsaan.
Di tengah minimnya literatur dan penulisan sejarah kiprah tokoh-tokoh Muhammadiyah, dia memandang buku karya ketua umum pertama Parmusi itu cukup ‘epik’ mengisahkan perjuangan sang ayah maupun Muhammadiyah dalam peran-peran kebangsaan, terutama pada kisaran momentum penyusunan Pancasila.
“Sangat penting dibaca buku ini, karena ini satu-satunya cerita tentang Ki Bagus Hadikusumo, dinamika yang terjadi di BPUPKI, PPKI, hingga interaksi Ki Bagus dengan Bung Hatta, sampai bagaimana keadaan setelah kemerdekaan. Itu semua adalah dalam rangka meneguhkan kembali identitas Muhammadiyah itu tadi, jadi harus paham,” papar Hajriyanto.
Darul Ahdi Wa Syahadah
Peran kebangsaan Muhammadiyah, kata Hajriyanto, tetap konsisten dengan dirumuskan dan dilahirkannya konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah melalui Muktamar ke-47 di Makassar pada tahun 2015 lalu.
Hal itu, menurut dia juga sebagai bagian dari peneguhan ideologi dan posisi politik persyarikatan terhadap Pancasila dan NKRI.
“Sebagai negara hasil perjanjian dan kesaksian, Darul Ahdi wa Syahadah merangkum cita-cita, bentuk, dasar, kewenangan dan tujuan negara Pancasila yang harus diwujudkan,” terang Hajriyanto.
Atas peran kebangsaan yang konsisten dari sebelum Indonesia merdeka hingga meraih kemerdekaannya, maka warga Persyarikatan kata Hajriyanto sudah semestinya meneguhkan komitmen Darul Ahdi wa Syahadah dengan mengisi kemerdekaan melalui pengkhidmatan yang sebaik mungkin.
“Yang paling penting adalah bagaimana kita mengisi kemerdekaan itu dan bagaimana kita mewujudkan apa yang dicita-citakan dan tujuan nasional dalam Darul Ahdi wa Syahadah,” tegasnya.
Yang demikian itu, lanjut Hajriyanto, agar terwujud Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur. “Bukan menjadi negeri yang darul fasad wal risywah, negara yang korup dan penuh kerusakan,” tandasnya. (*)
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto