PERKEMBANGAN Muhammadiyah pada fase lanjutan, yakni setelah KH. Ahmad Dahlan wafat (1868-1923), memang lebih banyak berfokus pada pembaharuan keagamaan, pelayanan sosial, dan pendidikan. Namun, apabila ditelisik, ternyata aktivitas pendiri Persyarikatan Muhammadiyah itu kental dengan pergolakan politik kebangsaan.
Peran serta Kiai Dahlan diketahui telah membawa Persyarikatan mampu memberikan kontribusi nyata dalam menciptakan kesadaran dan nasionalisme di tanah air. Yang pada akhirnya menjadi bagian penting dari gerakan perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Buahnya adalah Kiai Dahlan disematkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Salah satu aktivitas politik KH Ahmad Dahlan yang terkenal adalah masuknya beliau menjadi pengurus Budi Utomo. Organisasi yang berdiri di Kauman Yogyakarta itu memang bukan organisasi politik. Namun, tokoh-tokohnya adalah kalangan yang berpengaruh dalam pemerintahan di zaman itu.
Keluwesan Kiai Dahlan dalam bergaul dan berkomunikasi itu yang kemudian meyakinkan pemerintah kolonial Belanda bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kooperatif dan dapat diawasi, dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lain yang dinilai lebih radikal. Sehingga Muhammadiyah diizinkan berdiri dan beroperasi.
Meski, dalam perjalanannya pemerintah kolonial Belanda tetap berusaha membatasi pengaruh Persyarikatan dengan cara mengawasi setiap aktivitasnya. Juga dengan mencoba memengaruhi arah dan isi pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Namun, secara dinamis Kiai Dahlan bisa membuktikan dan menegaskan kemandirian dan kepemimpinannya dalam bidang sosial dan pendidikan keagamaan Islam yang modern. Sehingga keberadaan Muhammadiyah dianggap bermanfaat oleh pemerintah kolonial. Konsekuensinya adalah dukungan penuh dan izin dalam pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Secara bertahap pengaruh Muhammadiyah dalam masyarakat juga memiliki implikasi politik yang lebih luas. Terutama dalam upaya pencerdasan masyarakat dan mewujudkan kesadaran nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan di tengah penjajahan Belanda.
Selain itu, jalan politik Kiai Dahlan yang jarang disebut adalah aktivitasnya dalam Sarekat Islam (SI). Sebagaimana ditulis dalam buku Menembus Benteng Tradisi yang disusun oleh PWM Jawa Timur diketahui bahwa jalan dakwah Kiai Dahlan turun ke daerah bisa sebagai Hoofdbestuur Muhammadiyah, pedagang batik, dan aktivis Sarekat Islam.
Kunjungan Kiai Dahlan ke Surabaya mulai pada 1916 misalnya, erat berkaitan dengan kegiatan SI. Yakni atas undangan HOS Cokroaminoto. Kiai Dahlan diundang untuk memberi materi pengajian di kediaman Cokro Jl. Peneleh VII, atau di Langgar Plampitan VIII depan rumah Roeslan Abdulgani. Materi pengajian Kiai Dahlan disukai oleh tokoh-tokoh pergerakan di sana karena menggerakkan.
Nah, dalam forum pengajian itulah Soekarno yang masih berumur 15 tahun mengenal Kiai Dahlan. Waktu itu Bung Karno adalah siswa HBS yang kos di rumah Cokro. Sejak tahun 1916, Bung Karno mengaku sebagai santri nginthil kepada Kiai Dahlan dalam beberapa kali pengajian di Peneleh dan Plampitan.
Kala itu, Kiai Dahlan memang berjuang melawan penjajah tidak dengan mengangkat senjata. Tapi lebih banyak menekankan pada aspek pentingnya penyadaran, pencerahan dan pencerdasan masyarakat. Juga menjaga akhlak dan moralitas dalam berpolitik para pejuang. Hal itu bisa tampak dari berbagai pidato dan tausiyahnya di berbagai mimbar pengajian.
Serangkaian peristiwa sejarah penting di atas harusnya bisa memberi pelajaran dan hikmah berharga kepada warga Persyarikatan, supaya dikemudian hari mampu menumbuhkan sikap elegan dalam memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan kebangsaan. Yakni turut andil dalam dakwah di ranah politik seperti yang dilakukan oleh Kiai Dahlan.
Berdakwah di jalur politik tentu sesuai dengan identitas gerakan Muhammadiyah, yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip dakwah berkemajuan untuk menyeru kepada kebaikan atau kebenaran dan mencegah kepada perbuatan buruk, keji menjurus kepada kemungkaran atau kezaliman.
Keberpihakan kepada yang haq dan menjauhi yang batil dalam upaya pemenuhan hak-hak sosial dan keadilan masyarakat adalah prinsip yang harus dipegang oleh Muhammadiyah ketika berpolitik.
Maka dari itu, langgam dakwah Muhammadiyah tidak boleh hanya berkaitan dengan problem keagamaan, sosial kemasyarakatan, atau pendidikan semata. Tapi juga harus masuk wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengandung makna-makna politik.
Jalur dakwah Persyarikatan juga tidak boleh hanya ditujukan kepada masyarakat umum, apalagi hanya di wilayah internal Persyarikatan. Namun, dakwah Persyarikatan juga harus masuk pada tataran politik kekuasaan dan birokrasi kenegaraan serta pemerintahan. Yang mana kebijakannya akan sangat berpengaruh mencakup semua aspek kehidupan.
Gagasan itu secara singkat termaktub dalam Khittah Denpasar 2002 “Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadilan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban”.
Selain itu, (Alm) Bachtiar Effendy dalam Muktamar ke-47 di Makassar juga menggagas bahwa Muhammadiyah sangatlah perlu untuk mempunyai amal usaha politik untuk menjawab berbagai persoalan strategis kebangsaan. Hal itu karena dakwah di bidang politik itu sama mulianya dan harus menjadi titik prioritas bersama.
Seperti halnya semangat mendirikan amal-amal usaha Muhammadiyah yang lain, seperti pendidikan, sosial, dan kesehatan. Yang itu menjadi inti gerakan Muhammadiyah selama ini.
Jadi, Muhammadiyah berkewajiban untuk memposisikan diri menjadi lokomotif perubahan dengan semangat tinggi mengambil peran penting dalam pemerintahan melalui gerakan transformatif politik kebangsaan. Muhammadiyah juga memiliki kewajiban untuk memperbaiki carut marut kondisi bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang lebih berkemajuan.
Sayangnya, masih ada sedikit persoalan beda pandangan terkait penting tidaknya dakwah di jalur politik di tataran internal Muhammadiyah. Hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Salah satunya ditengarai karena sikap eksklusifitas warga Muhammadiyah.
Kondisi itu juga berbanding lurus dengan perilaku politik warga Muhammadiyah yang majemuk dan dinamis dikarenakan tidak adanya kebersatuan visi misi yang konkret. Penting dan urgentnya Muhammadiyah terlibat dalam perpolitik nasional juga tidak diimbangi dengan upaya penyiapan kader yang akan berkiprah di politik kebangsaan dan kenegaraan.
Nah, sudah waktunya Muhammadiyah mengambil sikap inklusif dan progresif dalam aktualisasi peran politik kebangsaannya. Sebagaimana dulu dicontohkan oleh Kiai Dahlan. Muhammadiyah juga harus menanggalkan eksklusiftasnya. Muhammadiyah harus terbuka berkomunikasi dan membangun relasi mutualis dengan lembaga pemerintahan. Tak terkecuali dengan partai politik yang ada.
Setelahnya, Muhammadiyah berkewajiban melakukan pemberdayaan, pembinaan, pengembangan dan pendidikan politik bagi seluruh warga persyarikatan. Hal itu dimaksudkan untuk menggugah kesadaran akan pentingnya politik bagi Persyarikatan. Juga sebagai upaya untuk memperkuat gerakan partisipatoris warga Muhammadiyah menyikapi problematika kebangsaan hari ini. (*)
Antonius Widiyo Utomo, Penulis adalah Anggota LHKP PWM Jawa Timur dan Sekretaris MHH PDM Kota Malang