Hari Kebangkitan Nasional dan Tantangan Baru Era Digital

Hari Kebangkitan Nasional dan Tantangan Baru Era Digital

MAKLUMAT — Ada hikmah waktu yang terus bergerak tanpa kita sadari mengingatkan akan sebuah nilai historisitas sekaligus peristiwa masa lalu. Waktu yang berjalan merangkum esensi perjalanan kehidupan termasuk dalam berbangsa dan bernegara.

Pada bulan Mei ini tepatnya pada tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), mengenang semangat awal pergerakan nasional yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908.

Namun dalam era modernitas dan revolusi digital saat ini, peringatan Harkitnas harus dihidupkan kembali dengan makna yang lebih “kontekstual” yakni sebagai momentum untuk menjaga keutuhan bangsa dari ancaman disintegrasi yang bersifat non-tradisional, bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penetrasi informasi, polarisasi sosial, dan perang wacana di ruang digital.

Presiden Republik Indonesia Bapak Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan telah mengingatkan bahwa ada pihak-pihak luar yang telah berupaya memecah belah bangsa, dengan memanfaatkan celah keberagaman atau perbedaan di dalam negeri ini yang rentan terhadap adu domba, provokasi, dan propaganda.

Jika dahulu kolonialisme hadir dengan kekuatan militer untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan menumpulkan daya kritis manusia Indonesia, kini penjajahan hadir dalam bentuk manipulasi informasi dan infiltrasi ideologis yang merusak kohesi sosial bangsa. Dalam studi geopolitik kontemporer, bentuk penjajahan ini disebut sebagai soft subversion, yakni pelemahan kedaulatan melalui dominasi narasi dan disinformasi (Nye, 2004).

Baca Juga  ‎DPP IMM: Hari Kebangkitan Nasional Jadi Momentum Kaum Muda Mengisi Ruang Strategis

Budi Utomo sebagai simbol awal kebangkitan bangsa lahir bukan semata karena kesadaran politik, tetapi karena semangat intelektual untuk mencerahkan. Mereka yang bergabung dalam Budi Utomo adalah anak-anak muda terdidik yang ingin mengangkat martabat bangsanya melalui ilmu pengetahuan dan kesadaran kolektif.

Di sinilah letak urgensinya: kebangkitan nasional adalah peristiwa budaya dan moral sebelum menjadi peristiwa politik. Dalam perspektif teori perubahan sosial, kebangkitan nasional dapat dibaca sebagai fase transisi dari kesadaran individual menuju kesadaran kolektif (collective consciousness) sebagaimana dijelaskan Émile Durkheim.

Namun, di era post-truth saat ini, di mana fakta sering dikalahkan oleh opini yang viral dan emosi lebih dominan daripada logika, kebangkitan nasional harus dibawa masuk ke ruang digital. Berdasarkan laporan We Are Social 2024, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 7 jam 42 menit per hari untuk mengakses internet, dengan 3 jam 18 menit digunakan untuk media sosial.

Ini menunjukkan bahwa jejaring digital kini menjadi domain publik utama tempat berlangsungnya pertarungan identitas, nilai, dan kepentingan.

Ruang digital kita saat ini tidak sepi dari ujaran kebencian, hoaks, dan provokasi antargolongan. Polarisasi akibat perbedaan pilihan politik, keyakinan, bahkan gaya hidup, telah menggerogoti akar-akar kebhinekaan kita.

Maka, digital literacy atau literasi digital menjadi perjuangan baru dalam era kebangkitan modern. UNESCO (2021) menyebut digital citizenship sebagai bagian penting dari pembentukan warga negara global yang bertanggung jawab, kritis, dan aktif dalam memperkuat demokrasi digital.

Baca Juga  Alasan Mengapa Kementerian Pendidikan Tinggi Perlu Dibentuk

Kita jadikan momen Harkitnas ini sebagai refleksi untuk selalu menebarkan pesan-pesan kerukunan dan menjadi agen perdamaian di media sosial. Hanya dengan cara itu, narasi-narasi perpecahan bisa dikalahkan dan tidak dibiarkan menjelma menjadi kebenaran semu yang memecah belah sesama anak bangsa. Tugas ini bukan milik pemerintah semata, tetapi tanggung jawab moral seluruh warga negara yang mencintai Indonesia.

Kita membutuhkan kebangkitan baru: kebangkitan yang tidak hanya simbolik, tetapi transformatif. Kebangkitan yang tidak hanya mengenang sejarah masa lalu, tetapi mampu membaca tantangan kekinian dan merumuskan solusi masa depan. Hari Kebangkitan Nasional bukan milik kelompok atau ormas tertentu, bukan milik elit politik tertentu, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.

Di tengah gempuran informasi dan derasnya pengaruh luar yang ingin mengaburkan identitas nasional kita, Harkitnas adalah panggilan untuk memperkuat jati diri sebagai bangsa, bukan sekadar sebagai kelompok. Karena hanya dengan kesadaran kebangsaan yang kuat, kita bisa berdiri tegak dalam percaturan global tanpa kehilangan arah dan marwah. Lets Contributing to Peace Together.

*Artikel ini sudah naik di laman Kemenag dengan judul yang sama. 

*) Penulis: Dr. Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI, Alumnus S3 Flinders University dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa Madani Global Citizenship-Rempoa Tangsel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *