23 C
Malang
Sabtu, November 23, 2024
KilasKisah Peralihan Kepemimpinan Pasca Rasulullah Wafat dan Pembentukan KPU Pertama

Kisah Peralihan Kepemimpinan Pasca Rasulullah Wafat dan Pembentukan KPU Pertama

Wakil Ketua PWM Jatim M. Khoirul Abduh

PELIKNYA Persoalan pergantian atau peralihan tangkup kepemimpinan nyatanya tidak hanya terjadi di pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024. Proses peralihan kepemimpinan pasca Rasulullah Muhammad SAW meninggal dunia misalnya, juga dipandang ada “pergolakan” terkait siapa yang dinilai layak menjadi pengganti.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Muhammad Khoirul Abduh menuturkan, ketika Rasulullah Muhammad SAW wafat misalnya, jasadnya tidak langsung dikebumikan. Jasadnya, baru dikebumikan setelah 3 hari sepeninggal beliau. Padahal, syariat agama menganjurkan untuk segera dikebumikan. Lantas apa yang jadi penyebabnya?

Menurut Abduh, kondisi itu terjadi karena munculnya persoalan siapa yang dianggap layak untuk menggantikan tangkup kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau. Perselisihan dan perebutan kekuasaan itu pun terjadi antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin.

“Jadi ternyata setelah Rasulullah meninggal itu persoalan kepemimpinan sudah ruwet. Baik Muhajirin dan anshor itu berseteru betul. (Anshor) merasa yang paling berhak mengganti kepemimpinan nabi itu adalah saya. Muhajirin juga begitu, yang paling berhak mengganti nabi itu saya,” kisahnya, saat menyampaikan sambutan dalam Rakorwil LHKP PWM Jatim, Sabtu (1/6/2024).

Kendati begitu, Abduh mengaku kagum terhadap teladan orang-orang terdahulu (sahabat nabi) yang mampu menghasilkan solusi atas perseteruan siapa yang layak menjadi pengganti kepemimpinan Nabi Muhammad SAW secara bijak dan bisa diterima umat.

“Konklusi dari konsep peralihan kepemimpinan itu kemudian muncul pemikiran sederhana, bahwa prasyarat meraka yang bisa mengganti Rasulullah Muhammad SAW itu adalah siapa orang yang dekat dengan Rasulullah. Tapi semua orang mengaku dekat dengan Rasulullah,” ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, klausal kedua pun dibuka, yakni ditanyakan siapa di antara sahabat nabi yang pernah menggantikan Nabi Muhammad SAW menjadi imam ketika beliau berhalangan hadir untuk shalat berjamaah.

“Ketika ditanya siapa yang pernah menjadi imam salat berjamaah menggantikan Rasulullah, maka semua orang tau yang pernah menggantikan Rasulullah SAW menjadi imam shalat adalah Abu Bakar Assidiq,” ungkap alumnus IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel, Surabaya itu.

Abduh lalu mengisahkan peralihan kepemimpinan dari sahabat Abu Bakar kepada Umar bin Khattab, yang menurutnya relatif lebih mudah. Sebab, perpindahan kepemimpinan dari Abu Bakar kepada Umar bin Khattab prosesnya adalah penunjukan.

“Umar bin Khattab itu dianggap sebagai sahabat yang lebih tua dan Rasulullah Muhammad SAW sangat mencintanya. Umar juga orang yang sangat berani. Bahkan, nabi pernah berdoa mudah-mudahan Umar bin Khattab ini bisa masuk Islam agar kemudian Islam semakin maju. Karena itu, kemudian disepakati pengganti Abu Bakar adalah Umar. Pergantian itu mudah karena ditunjuk juga oleh Abu Bakar,” ungkapnya.

Persoalan pergantian kepemimpinan kembali muncul ketika masa-masa akhir kepemimpinan Umar bin Khattab, yakni sebelum terbunuh. Waktu itu, Abduh mengisahkan, Umar bin Khattab merasa bingung tentang siapa sahabat Nabi yang layak untuk menggantikan kepemimpinannya nanti.

“Waktu itu, terdapat dua tokoh Islam terkemuka yang sangat hebat dan dicintai oleh Rasulullah Muhammad SAW, yakni Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Saking bingungnya Umar, maka dibentuklah panitia pemilihan,” paparnya.

“Kalau sekarang ini (semacam) KPU. Jadi KPU yang pertama dibentuk itu ada di zaman Umar bin Khattab, yang saat itu diketuai oleh Abdurrahman bin Auf, (serta) lima orang terpercaya dan dijamin oleh Allah SWT masuk surga, itu oleh Umar dijadikan KPU,” imbuhnya.

Abduh memaparkan, mereka (KPU yang terdiri atas lima orang) kemudian diminta berdiskusi untuk memilih siapa sosok pengganti Umar bin Khattab. Hasilnya, Ustman bin Affan mendapat dukungan dua suara dan Ali bin Abi Thalib juga mendapat dukungan dua suara. Sementara, satu suara diberikan kepada Abdurrahman bin Auf.

“Nah, Abdurrahman bin Auf menyatakan mundur. Dikarenakan tidak ada suara yang lebih unggul atau memenuhi 50 persen plus satu, Khalifah Umar bin Khattab kemudian memerintahkan untuk dilakukan jajak pendapat,” urainya.

Maka, Abduh menyebutkan, lima orang ‘KPU’ tersebut diperintahkan untuk berkeliling Kota Makkah dan Madinah untuk melakukan jejak pendapat di Masyarakat. Tujuannya untuk mencari siapa sosok yang layak menggantikan kepemimpinan Umar bin Khattab di antara kedua nama tadi.

“Kemudian data (jajak pendapat) itu dikumpulkan dan karena tidak menemukan 50 persen plus satu, maka kemudian hasil diskusi itu memutuskan yang lebih tua, akhirnya Ustman bin Affan diputuskan sebagai khalifah ketiga,” tandas Abduh.

Reporter: Ubay NA

Editor: Aan Hariyanto

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer