MAKLUMAT – Suasana Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, terasa berbeda hari itu, Ahad (26/10/2025). Mereka menyambut seorang tamu istimewa. Dia adalah Prof. Abdul Mu’ti, sosok yang dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sekaligus Mendikdasmen RI.
Namun, Mu’ti tidak datang dengan kaku. Di hadapan ribuan santri, dia justru tampil ringan dan riang. Gayanya khas. Dia sengaja membongkar riwayat hidupnya. Mu’ti blak-blakan bercerita pengalamannya saat menjadi siswa di lembaga pendidikan yang berafiliasi Nahdlatul Ulama (NU).
Dia lantas memaparkan perjalanannya menempuh pendidikan hingga ke Australia, aktif di organisasi kepemudaan, hingga kini mengemban amanah ganda.
Mu’ti tidak sedang bernostalgia kosong. Dia tengah memompa semangat para santri. Dia ingin membuktikan bahwa latar belakang santri bukanlah halangan.
“Semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai cita-cita!” serunya. “Termasuk para santri. Jika memiliki semangat dan daya juang, kalian juga dapat menjadi menteri!”
Bagi Mu’ti, berkhidmat di Muhammadiyah maupun NU adalah jalan mulia. Keduanya, tegas dia, merupakan bagian dari cara seorang santri untuk memajukan Indonesia.
Di sinilah Mu’ti melempar filosofi mendalamnya. Dia menyebut kedua organisasi ini sebagai penjaga utama tegaknya pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Saya sering menyebut NU dan Muhammadiyah itu seperti dua sayap burung Garuda,” katanya dengan nada mantap.
Metafora ini sederhana namun kuat. Mu’ti menjelaskan, seekor Garuda tidak akan pernah bisa terbang jika salah satu sayapnya patah.
“Garuda bisa terbang tinggi kalau dua sayap Garuda – NU dan Muhammadiyah itu kompak,” tegas Mu’ti seperti dilansir laman Muhammadiyah.
Meski begitu, kekompakan bukan berarti peleburan. Mu’ti tidak ingin kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini dilebur. Dia mendorong keduanya tetap leluasa sesuai peran masing-masing. Kuncinya, kata dia, adalah mengedepankan ta’awun (saling bantu) dan bekerja sama untuk kejayaan bangsa.
Harmonisasi itu, lanjut Mu’ti, sudah berjalan alami. Dia melihat banyak anak-anak atau kader NU yang kini nyaman melanjutkan pendidikan di berbagai lembaga milik Persyarikatan Muhammadiyah.
“Sehingga kemudian persatuan Islam, terutama persatuan di antara dua kelompok moderat ini, inilah yang perlu kita perkuat bersama-sama,” imbuhnya.
Dia mengingatkan, sejarah telah mencatat peran kedua organisasi. Para tokoh dari NU dan Muhammadiyah adalah pendiri sekaligus perumus dasar negara Indonesia. Kini, generasi penerus memikul tanggung jawab besar untuk menjaga harmoni yang telah terjalin lama itu.***